Biaya-biaya tersebut, kata dia, salah satunya seperti biaya pembelian seragam, merupakan kewajiban pemerintah kota untuk memenuhi kebutuhan siswa MBR.
"Apapun kondisinya, yang MBR ini, karena mereka penghasilannya cuma Rp 2,5 juta, kalau untuk beli seragam seharga Rp 1,3 juta, ya habis uangnya," kata Armuji.
Dalam kasus ini pihak sekolah meminta siswa membeli seragam dengan dua pilihan.
Pertama, membeli seragam melalui sekolah atau membeli seragam di luar sekolah.
Padahal, siswa tersebut berhak mendapatkan seragam secara gratis dan biayanya ditanggung Pemkot Surabaya.
"Lha ini alternatif dari sekolah cuma gini, beli seragam di sekolah atau di luar. Bukannya dikasih malah disuruh beli kok. Harusnya kan diberi, bukan beli. Karena ini tanggung jawab Pemerintah Kota," ucap Armuji.
Buntut kasus ini, Armuji menginstruksikan kepada para kepala sekolah untuk tidak memaksa siswa membeli seragam.
Dispendik Surabaya diminta turun ke sekolah-sekolah untuk melakukan pengawasan agar hal-hal serupa tidak terjadi lagi.
"Kalau enggak ada laporan, mungkin Dispendik akan diam saja. Tapi, kalau sudah seperti ini, kami instruksikan harus turun ke sekolah-sekolah untuk bisa mengecek keberadaan anak-anak MBR ini," kata Armuji.
Dispendik Surabaya diminta memanggil semua kepala sekolah agar tidak ada lagi kebijakan sekolah yang bertentangan dengan regulasi Pemkot Surabaya.
"Ini tugas Dispendik untuk memanggil semua kepala sekolah dan menginstruksikan agar tidak lagi memaksa siswa membeli seragam. Ini kesannya Dispendik juga enggak kerja kalau seperti ini," kata Armuji.