Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Kisah Bupati Kampar dan Lima Tunggangannya

Kompas.com - 03/09/2021, 12:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

USAI memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 para pengawal Soekarno kebingungan karena Presiden Indonesia pertama ini belum memiliki kendaraan kepresidenan.

Sudiro yang prihatin dengan kondisi miris fasilitas kepresidenan tidak kehilangan akal. Ada mobil limosin merek Buick yang cukup besar, berkapasitas 7 orang, mobil yang paling keren di Jakarta saat itu. Cuma sayangnya, mobil itu masih dimiliki seorang kepala jawatan perkeretaapian berkebangsaan Jepang.

Sudiro mendekati Si Sopir, memintanya kabur karena  Sudiro akan mencuri mobil mewah itu. Alhasil, sopir yang juga bersimpati dengan perjuangan Soekarno rela menyerahkan kunci mobil ke Sudiro dan kabur ke luar daerah agar tidak didamprat oleh empunya kendaraan.

Jadilah mobil curian itu sebagai mobil kepresidenan pertama yang dinaiki Bung Karno. Mobil ini masih tersimpan di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta.

Dari epos perjuangan ini kita bisa melihat keterbatasan dan kesulitan keadaan ketika itu, persoalan kendaraan dinas, bisa diakali dengan segala cara.

Para pejabat menguasai mobil dinas

Di era sekarang mobil dinas yang dimiliki para pejabat seakan tidak ada cukupnya. Tidak cukup satu, malah kalau bisa lima kendaraan dinas dikuasai sekaligus.

Kisah lain, saat pemerintahan awal Joko Widodo terpilih sebagai presiden, ada seorang staf menteri bertutur renyah kepada saya. Pak menteri yang baru dilantik masih menggunakan mobil pribadinya karena menteri yang lama tidak kunjung mengembalikan mobil dinasnya ke bekas kantornya.

Ditunggu sekian waktu, mobil itu tak kunjung dikembalikan. Sementara, kegiatan menteri baru berangsur-angsur semakin padat. Ada lima mobil dinas yang masih dalam penguasaan menteri lama. 

Padahal sudah jelas, lima kendaraan dinas tersebut merupakan inventaris kantor. Bukan hadiah, apalagi kenang-kenangan.

Akhirnya, staf kementerian tersebut menarik mobil-mobil dinas itu ke kantor. Mobil-mobil itu masih dipakai hingga sekarang meski menteri berikutnya sudah menggunakan kendaraan dinas yang baru.

Setelah kisah soal menteri, kita beralih ke cerita soal gubernur. Ini kisah nyata yang saya temui di lapangan.

Suatu saat saya didapuk menjadi ketua tim yang membantu tugas-tugas pejabat yang baru. Pejabat lama juga berperilaku sama dengan bekas menteri yang saya ceritakan di atas.

Ada dua mobil yang dikuasai, toyota alphard dan mitsubishi pajero. Posisi mobil berada di sebuah kota di luar provinsi yang pernah dia pimpin.

Karena tidak ada niatan untuk mengembalikan mobil inventaris tersebut, terpaksa diminta dengan sangat agar mobil yang dibeli dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut dikembalikan.

Di pusat maupun di daerah, para pejabat kita sangat "sayang" dengan kendaraan dinasnya. Mereka tidak mau melepas kendaraan dinas meski jabatan yang diemban sudah ditinggalkan. 

Cerita yang sama terjadi pula di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.  Wakil Bupati Kampar Catur Sugeng Susanto naik posisinya menjadi bupati, setelah pejabat sebelumnya wafat pada 2018. Posisi wakil bupati yang ditinggalkannya masih kosong.

Ia memiliki lima kendaraan dinas, termasuk kendaraan dinas wakil bupati. Posisi mobil dinas itu tidak hanya ada di Kampar, tapi juga di Jakarta dan Yogyakarta. (Kompas.com, 1 September 2021).

Baca juga: Sekda Benarkan Bupati Kampar Kuasai 5 Mobil Dinas, Ada Juga yang di Jakarta dan Yogyakarta

Janggal sekali menempatkan mobil dinas di Jakarta karena tidak setiap hari ia berurusan dinas di Jakarta. Kalaupun ada urusan dinas ke Jakarta, bukankah lebih hemat jika menggunakan mobil rental saja. Dengan begitu, tidak ada biaya gaji sopir, biaya perawatan, bahan bakar, dan pajak kendaraan. 

Berikutnya soal Yogyakarta. Penempatan mobil dinas Bupati Kampar di Yogyakarta sungguh di luar nalar sehat. Urusan dinas ke Jakarta masih bisa dipahami karena instansi-instansi pusat ada di Ibu Kota. Soal kendaraan dinas di Jakarta terselesaikan dengan rental. Tapi, bagaimana memahami urusan dinas ke Yogyakarta?

Jadi panutan untuk bawahan

Penguasaan mobil dinas tanpa aturan yang jelas dan tegas serta tidak ada pengawasan membuat kasus Kampar mengingatkan kita tentang penguasaan aset-aset negara. Tidak adanya pengawasan dan rendahnya kesadaran para kepala daerah – baik saat menjabat atau sudah tidak lagi menjabat – membuat mereka leluasa memperlakukan mobil dinas serasa tunggangan pribadi.

Perilaku pimpinan yang seenaknya sendiri pasti akan "digugu" dan "ditiru" bawahannya. Jika bupatinya bisa menguasai lima kendaraan dinas maka para kepala dinas di Kabupaten Kampar juga akan berlomba menjadikan mobil dinas serasa milik “dewek”. Bahkan peruntukkannya pun bisa bergeser, tidak lagi untuk urusan dinas tetapi untuk keperluan keluarga

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com