LOMBOK BARAT, KOMPAS.com - Lebih dari 80 orang supir dan kenek truk ekspedisi tujuan Sumba, Nusa Tenggara Timur, terlantar di Jembatan Timbang dan Pelabuhan Barang Lembar, Lombok Barat.
Mereka terlantar sejak Kapal Egon atau kapal pelni berkapasitas penumpang, barang dan kendaraan tak kunjung tiba di Pelabuhan Lembar hingga tiga bulan lamanya.
"Saya sudah tiga bulan berada di sini, barang barang saya ini adalah barang bantuan atau donasi dari gereja, untuk korban gempa, tapi sampai sekarang saya tak bisa menyeberang," kata Umbu Domu Ninggeding (43), sopir ekspedisi asal Sumba Timur, kepada Kompas.com, di depan bekas bangunan Jembatan Timbang, Dusun Serumbung, Desa Lembar Selatan, Lombok Barat, Kamis (2/9/2021).
Domu mengaku, sangat bingung karena pemilik barang berkali-kali meneleponnya dan menganggapnya mengada-ada terlantar di Lombok Barat.
Baca juga: Kisah Polwan Kristen Jadi Ibu Asuh Puluhan Bintara Polri Beragama Islam
"Pemilik barang marah-marah pada kami, ini hampir semua sopir truk di sini ditelepon dan dimaki-maki pemilik barang, mereka tidak tahu bagaimana keadaan kami sebenarnya, kami menderita juga di sini, makan sulit, uang menipis, bayangkan sampai 3 bulan saya di sini tanpa kejelasan Kapal Egon akan datang," kata Domu.
Selain Domu, sopir dan kenek lainnya juga sangat kesulitan karena ketidakjelasan nasib mereka.
Lama para sopir ekspedisi yang terlantar di Pelabuhan Lembar bervariasi, namun sebagian besar rata-rata selama 2 bulan.
"Harapan kami ketika kapal Egon docking, sebaiknya ada kapal lain yang mengantikan untuk sementara waktu. Karena tak ada kapal penganti, terjadi penumpukan seperti saat ini, kami juga kesulitan makanan dan terpaksa menjual barang-barang kami untuk membeli makan dan mengirim uang untuk anak istri di Sumba," kata Yan Rara Lunggi (25).
Yan Rara mengaku, terpaksa menjual cicin kawinnya untuk mengirim uang ke Sumba.
Sebab, tertahan selama 2 bulan bukan perkara mudah baginya dan keluarga. Gaji sebulan yang mencapai Rp 3 juta habis untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di Lombok.
"Gaji satu bulan untuk makan, dan satu bulan untuk dikirim ke keluarga, tapi masih kurang, keluarga di Sumba harus terpenuhi kebutuhannya, terpaksa saya jual cincin kawin saya," kata Yan sedih.