"Tadi ada enam wali murid (yang mengadu), dan itu masih banyak yang lainnya. Jadi yang kebetulan saya undang, saya interogasi, ada enam orang, dengan SMP yang berbeda-beda. Jadi hampir seluruh (sekolah) Surabaya modelnya kayak gitu," tutur Armuji.
Ia pun menyesalkan mengapa hal tersebut terkesan luput dari perhatian dan pengawasan Dispendik Surabaya.
"Makanya ini kami sangat menyesalkan, terutama sama Dispendik Surabaya. Karena mereka tidak mau tahu hal-hal semacam itu. Aturannya sudah jelas, bagi warga MBR akan diberi seragam buku dan semuanya ditanggung pemerintah," kata Armuji.
Menurut Armuji, pihak sekolah meminta siswa membeli seragam dengan dua pilihan. Pertama, membeli seragam melalui sekolah atau membeli seragam di luar sekolah.
Baca juga: Video Viral Pria Diduga Memperlihatkan Kelaminnya di Atas Motor, Polisi Gelar Penyelidikan
"Lha ini alternatif dari sekolah cuma gini, beli seragam di sekolah atau di luar. Bukannya dikasih malah disuruh beli kok. Harusnya kan diberi, bukan beli. Karena ini tanggung jawab Pemerintah Kota," ucap Armuji.
"Apapun kondisinya, yang MBR ini, karena mereka penghasilannya cuma Rp 2,5 juta, kalau untuk beli seragam seharga Rp 1,3 juta, ya habis uangnya," kata Armuji.
Karena itu, ia menginstruksikan kepada para kepala sekolah untuk tidak memaksa siswa membeli seragam.
Ia juga meminta agar Dispendik Surabaya turun ke sekolah-sekolah untuk melakukan pengawasan agar hal-hal serupa tidak terjadi lagi.
"Kalau enggak ada laporan, mungkin Dispendik akan diam saja. Tapi, kalau sudah seperti ini, kami instruksikan harus turun ke sekolah-sekolah untuk bisa mengecek keberadaan anak-anak MBR ini," kata Armuji.