Setiap hari, Ngadiono harus meminjam gawai saudaranya untuk mengirimkan tugas anaknya.
"HP ini dulu beli Rp 250.000, ya karena HP lama kadang sulit mengirim tugas anak, kadang harus pinjam ke saudara untuk mengirim tugas," kata Ngadiono.
Sejatinya tanah yang ditempati merupakan milik ibu kandung Ngadiono, namun sudah diwariskan ke anak yang lain.
Ngadiono sendiri sebetulnya sudah memiliki rumah, dan pada tahun 2006 lalu, akibat gempa bumi dibangunkan oleh CSR.
Namun karena dililit utang, dirinya menjual rumah dan tanah kepada adik kandungnya.
Lokasi kandang yang mereka tempati saat ini rawan bencana karena berada di tepi sungai Oya. Mereka menyadari bahaya jikaair sungai meluap, namun tak ada pilihan lainnya.
"2012 itu saya merantau ke Bangka bekerja di perkebunan sawit. Tahun 2013 istri saya dan dua anak menyusul," kata Ngadiono.
"Kerja di sana untuk membayar utang, karena utang saya banyak," kata dia.
Sebalum merantau, pekerjaan Ngadiono sebagai tukang sablon. Sementara istrinya sebagai penjual sayur. Karena manajemen tidak bagus, keluarga ini terjerat utang rentenir atau bank harian hingga puluhan juta. Belum lagi utang dari bank kovensional, sehingga Ngadiono harus rela menjual rumah dan tanah warisan untuk membayar.
"Akhirnya pulang ke sini tahun 2018 saya tinggal di gubuk tengah hutan itu," kata dia.
Sumini menambahkan, selama ikut suami kerja di Bangka Belitung dirinya dan suami kerja sebagai buruh harian di perusahaan sawit. Setiap hari Ngadiono dibayar Rp 50.000 sementara dirinya Rp 40.000. Hasil yang dirasakan cukup kecil hidup di perantauan dirinya pun memilih untuk pulang kampung.
Dukuh Kedungranti Tukiyarno mengatakan, keluarga ini meski sudah merantau beberapa tahun namun masih terdaftar sebagai warga Kedungranti.
Saat pulang 2018 lalu, keluarga ini tinggal di Piyuyon, Semanu selama 3 bulan. Setelah bapak dari Ngadiono meninggal.
Ngadiono diberikan garapan tanah milik perhutani untuk bercocok tanam, dan mendirikan rumah kecil. Sumini saat itu masih di Piyuyon, berjualan sayuran.
"Untuk mendirikan kandang ternak di sekitar perhutani memang dilarang, dan mungkin capek bolak balik maka didirikan rumah di sini," kata Tukiyarno.
Pihaknya dan RT setempat juga mengupayakan untuk bantuan pendirian rumah, namun karena tidak memiliki tanah, ia tidak bisa membantu. Namun demikian, dalam waktu dekat pihaknya akan membuatkan rumah semi permanen di tanah kas kalurahan untuk berteduh keluarga ini. Sebab, di aliran Sungai Oya sangat berbahaya untuk ditinggali.
Hal ini berkaca dari tahun 2017 luapan sungai cukup tinggi.
"Tetap saya pindahkan ke tanah O (tanah kas) karena di sini banjir dulu. Sudah dalam rumusan kami, dampak bencana di Kedungranti harus kita hindari," kata Tukiyarno.
(Kontributor Yogyakarta, Markus Yuwono)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.