Di bawah 2 hektar diperbolehkan bakar dengan syarat ?
Sejak disahkannya Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), masyarakat lokal sebetulnya diperbolehkan membakar kebun atau ladang asal dibawah dua hektar, dengan memperhatikan kearifan lokal dari daerah tersebut.
Akademisi Hukum dari Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah bilang ketentuan hukum dalam UU PPLH yang disebutkan itu, sudah diubah melalui UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam ketentuan Pasal 22 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU PPLH itu, secara eksplisit melarang pembukaan lahan dengan cara membakar.
Baca juga: Birute Galdikas Dokter Jerman, 50 Tahun Mengabdi untuk Orangutan, Menikah dengan Pria Dayak
Namun larangan dalam norma tersebut dikecualikan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan dimaksud, dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing seperti dijelaskan dalam Pasal 69 ayat (2).
“Kalau kita baca penjelasan Pasal 69 ayat (2) ini, kearifan lokal yang dimaksud adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya,” kata pria yang biasa disapa Castro saat dihubungi Kompas.com.
Lalu mengapa peladang atau petani yang membakar kebun dibawah dua hektar ditangkap?
Castro menduga, penyidik kepolisian tidak memahami dengan baik regulasinya, terutama tentang perspektif kearifan lokal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) itu.
“Kalau perspektif soal itu tidak memadai, maka tidak mengherankan soal penangkapan para petani itu,” kata dia.
Hal lain, tampak dari tudingan pembukaan lahan oleh masyarakat lokal sebagai aktor utama pemicu karhutla di Kaltim.
Dijelaskan Castro, ada banyak kritik soal penanganan karhutla di Kaltim dari hulu sampai hilir.
Pertama, soal penegakan hukum, kata dia, tidak hanya penangkapan, tapi proses penegakan hukum ini dipotret dari hulu ke hilir, dari penangkapan sampai vonis.
“Percuma banyak yang diproses hukum, tanpa dijatuhkan vonis berat. Tidak akan ada efek jera," ujar Castro.
Kedua, soal perspektif penyidik kepolisian, yang cenderung menuding masyarakat yang membakar lahan sebagai aktor pemicu karhutla.
“Ini jelas upaya untuk berlindung dibalik kegagalan mengungkap aktor besar dari perusahaan pemegang konsesi, terutama sawit dan tambang,” terang dia.
Sebab, ada kesan kepolisian tidak memiliki keberanian untuk menyasar korporasi tersebut. Sementara pada sisi lain, justru masyarakat yang selalu dikambinghitamkan.