Tak berselang lama, petani ini dijemput polisi. Korek api gas hijau merk tokai dan tisu bekas jadi barang bukti polisi saat ditangkap.
Masih dalam satu wilayah kecamatan, Zulrait petani cabai juga dibekuk polisi.
Pria 48 tahun itu ditangkap saat membakar lahan seluas 2×18 meter persegi, untuk kebun cabai.
Dari tangannya, polisi mengamankan barang bukti satu buah korek api gas warna ungu merk hunter dan sebilah parang.
Keduanya, digiring menuju Polres Kutai Timur dan ditetapkan tersangka.
Selain dua daerah di atas, penangkapan orang yang dituding karhutla juga terjadi di Berau, Penajam Paser Utara, Bontang, Kutai Barat dan beberapa daerah lainnya.
Baca juga: Hadiah Rp 100 Juta untuk Desa yang Berhasil Pertahankan Wilayah Bebas Karhutla
Sepanjang September 2019, sebanyak 30 orang ditangkap dan ditetapkan tersangka, beberapa di antaranya peladang dan petani.
Tangkapan ini terbanyak dalam sejarah penegakan hukum kasus karhutla di Kaltim enam tahun terakhir.
Kapolda Kaltim, Irjen Pol Herry Rudolf Nahak mengatakan tanpa henti pihaknya beri edukasi bahaya karhutla bagi masyarakat.
"Tapi tentu kami juga menindak tegas pelaku yang sengaja membakar lahan dan hutan," ucap dia.
Hasil identifikasi Ditreskrimsus Polda Kaltim edukasi bahaya karhutla sulit disosialisasikan kepada masyarakat di pedalaman Kaltim, yang disebut bercocok tanam dengan cara nomaden dan cenderung memisahkan diri.
Selain itu, faktor geografis dan kondisi alam di Kaltim yang berbukit dan hutan cukup menyulitkan mendeteksi dan mencegah karhutla.
Penggiat Literasi Sejarah Lokal Kaltim, Muhammad Sarip bilang penduduk pedalaman Kalimantan sering kali diberi stereotip sebagai kelompok manusia yang gemar membuka ladang dengan membakar hutan, dan berakibat polusi udara dan sebagainya.
“Stigma ini mesti diluruskan,” kata Sarip.
Pada masa kini, kata dia, sudah tidak ada lagi aktivitas nomaden. Lahan dan pengelolaan kawasan hutan sudah diatur negara. Banyak juga areal yang diserahkan kuasanya kepada pihak swasta.
“Adapun petani, sebagai warga negara, lahan mana lagi yang bisa mereka bakar? Ladang dan sawah mereka ya itu-itu saja dari tahun ke tahun,” tutur dia.
“Kegiatan perladangan dan persawahan sudah rutinitas saban tahun. Kalaupun ada api di lahan mereka, itu guna keperluan urgent, misalnya menghilangkan sampah sisa pasca-panen,” sambungnya.
Baca juga: Kisah Damanhuri, Penerjemah Al Quran ke Bahasa Dayak Kanayatn
Seorang Peladang di Kampung Ongko Asa, Kabupaten Kutai Barat, Fransiskus Suseno (32) tidak sepakat, petani ataupun peladang yang bakar ladang dituding pemicu utama karhutla.
Menurut dia, masyarakat adat punya cara sendiri membakar dan melindungi hutan.
"Kalau ditanya kenapa kami pakai bakar, selain karena tradisi, juga biar ladang bersih,” kata dia.
Ladang bersih, tentu memudahkan peladang saat Nugal (tanam padi). Laki-laki bertugas membuat lubang dari kayu runcing ditancapkan ke lahan, sementara perempuan menyusul dengan menanam atau mengisi benih padi ke dalam lubang itu dan menutup.
“Kalau rumput habis tebas tidak dibersihkan, tertumpuk di ladang bagaimana caranya kami Nugal. Sulit. Kalau pemerintah enggak mau kami bakar, silahkan beri kami cari lain yang modern,” ungkap pria dengan sapaan Acam ini saat dihubungi Kompas.com, Minggu (30/8/2021).