Mirisnya, angka kasus merariq kodeq justru meningkat di masa pandemi.
Saraiyah mencatat, di tahun pertama pandemi pada 2020, terdapat 36 kasus pernikahan anak di Kecamatan Bayan, sementara hingga Juli 2021 sudah terjadi 22 kasus pernikahan anak.
Angka itu melonjak dari kasus pernikahan anak tahun 2019, sebanyak 12 kasus.
Faktor ekonomi keluarga, pengaruh media sosial, dan persoalan adat, menjadi penyebabnya.
Temuan Saraiyah, pembelajaran daring juga turut andil menyumbang angka pernikahan anak.
Anak-anak yang tak memiliki gadget atau berada di wilayah yang tak terjangkau internet, memilih belajar bersama dengan kawan-kawannya, yang jaraknya jauh dari rumah mereka.
Terkadang, proses belajar dengan cara tersebut, menyebabkan mereka terlambat pulang.
Ironisnya, anak-anak yang pulang terlambat ini dalam beberapa kasus dianggap sudah berbuat negatif.
Baca juga: Biaya Tes PCR di Bandara Lombok Turun Jadi Rp 525.000, Mulai 20 Agustus 2021
Sehingga, tokoh adat dan orangtua anak mengambil langkah yang kurang tepat, dengan menikahkan anak mereka dari pada mencoreng nama kampung.
"Padahal, anak-anak itu telat pulang karena harus belajar daring, yang jadwalnya hingga sore hari, bukan mereka berbuat yang tidak-tidak," kata Saraiyah.
Meski, tidak bisa dipungkiri juga, bahwa ada kasus pernikahan dini yang terjadi karena keinginan anak pelaku merariq kodek itu sendiri.
Karena mereka jenuh di rumah, lama tidak masuk sekolah, ditambah kondisi ekonomi keluarganya yang sulit, mereka beranggapan menikah akan merubah nasib dan menyelesaikan masalah keluarga.