Konflik air dan ancaman puso
Euforia panen raya masih terngiang di kepala saat petaka paceklik singgah di pertengahan 2019.
Saluran irigasi primer yang mengaliri areal sawah di Desa Karangpetir mengering saat padi sedang berbunga.
Para petani di desa kecil itu pun seperti kebakaran jenggot, tidak terkecuali Nikita.
“Di musim tanam kedua kami diterpa kemarau panjang, debit air di saluran irigasi primer surut, padahal kondisi tanaman sedang butuh banyak air,” ujarnya.
Nikita menduga, kondisi ini terjadi karena kapitalisasi sumber mata air di hulu.
Baca juga: Usai Panen Padi, Anies Gelar Apel gara-gara Jakarta Panen Covid-19
Monopoli air oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), perusahaan swasta air minum kemasan hingga obyek wisata kolam renang membuat petani di hilir seperti Nikita hanya kebagian ampas.
“Satu-satunya cara untuk menyelamatkan sawah waktu itu cuma nyedot air dari sumur pakai pompa,” ujarnya.
Namun luasnya areal sawah dan banyaknya petani di Desa Karangpetir menimbulkan konflik baru.
Masing-masing petani berebut giliran curah, mencari selamat sendiri-sendiri.
Meskipun uang iuran untuk jatah sawahnya sudah terhimpun, tapi air dari pompa tak kunjung menggenangi sawah Nikita.
“Karena pada rebutan, akhirnya kami cuma bisa pasrah. Musim tanam kedua hasil panen turun drastis, dari sebelumnya 1,7 ton jadi cuma 8 kuintal,” ujarnya.
Baca juga: Cerita Petani Porang di Cianjur, Raup Untung Besar Saat Panen
Hal ini juga diamini oleh Kepala Desa Karangpetir, Ardi.
Kepada Kompas.com, Ardi mengungkapkan, luas areal sawah di Karangpetir sekitar 59,679 hektar atau 70 persen dari total luas wilayah desa.
Dari luasan itu, hampir separuhnya atau sekitar 25 hektar masuk kategori lahan yang rentan kekeringan.
Untuk menanggulanginya, sejak 2013, pemdes telah menggali empat titik sumur di tanah bengkok kepala desa.
Sejumlah bantuan termasuk pompa air berbahan bakar minyak (BBM) juga datang dari kabupaten maupun provinsi.
Namun penggunaan pompa BBM bagi petani seperti “keluar mulut buaya masuk mulut harimau”.
Bagaimana tidak, penggunaan pompa BBM membuat biaya operasional petani bengkak, bahkan bisa disebut besar pasak daripada tiang.
Baca juga: Kisah Sukses Eko Budidaya Melon Emas, Omzet Rp 75 Juta Sekali Panen
Ardi merinci, untuk mengairi lahan seluas 300 ubin, diperlukan waktu sedot semalam suntuk.
Padahal konsumsi BBM untuk mesin pompa semalam suntuk membutuhkan 10 liter bensin.
Jika harga bensin eceran saat ini berkisar Rp10.000, maka untuk mengairi lahan seluas 300 ubin menyedot biaya Rp100.000.
“Dulu gapoktan (gabungan kelompok tani) pernah iuran Rp5.000 per 100 ubin, tapi ternyata tidak nutup biayanya, sampai desa terpaksa tombok,” jelasnya.