Ekosistem organik
Musim tanam pertama bagi muda-mudi Harvestmind benar-benar menguras tenaga dan pikiran.
Pola kerja petani yang keras mereka lakoni dengan tekun dan penuh dedikasi.
Mulai dari pembuat pematang, membajak, hingga mengolah pupuk dan pestisida organik adalah perkara yang tidak sederhana.
“Kami menggunakan limbah urine kelinci untuk memperkaya nitrogen dalam tanah. Sementara untuk kebutuhan fosfat dan kalium kami menggunakan fermentasi batang pisang dan sabut kelapa,” jelasnya.
Nikita sadar, satu-satunya cara untuk mencegah ledakan populasi hama adalah mempertahankan ekosistem tetap seimbang.
Baca juga: Mahasiswa UNS Olah Sekam Padi dan Cangkang Telur Jadi Bahan Pengganti Semen
Dengan menggunakan bahan-bahan nonkimia, ekosistem alami di areal sawah tetap terjaga.
Serangan hama serangga seperti wereng dapat diatasi oleh predator lain yang tetap hidup tanpa tersentuh pestisida sintetis.
“Untuk pestisida alami kami menggunakan mengkudu, daun papaya dan daun sirih yang difermentasi selama empat bulan,” jelasnya.
Dengan perawatan organik tersebut, Nikita menjamin produk beras yang dia produksi sehat dan terbebas dari residu kimia.
Seperti kata pepatah, keberuntungan selalu setia kepada mereka yang berusaha. Tiga bulan berjalan, tibalah saat yang ditunggu-tunggu, panen raya.
Musim tanam pertama Harvestmind berbuah manis.
Tidak kurang dari 1,7 ton gabah kering padi organik varietas mentik susu dipanen kala itu. Segala jerih payah petani muda ini terbayar lunas.
“Bobot dari gabah kering untuk menjadi beras bisa susut hingga 50 persen. tapi produk organik kian hari kian dapat tempat di pasar domestik,” ujarnya.
Nikita mengakui, industri pertanian yang saat ini dia geluti merupakan sektor yang tidak terlalu terdampak oleh pandemi.
Harga pasar untuk beras organik AOB masih stabil di angka Rp20.000.
“Selain melalui koperasi AOB, kami juga menjual produk kami melalui media sosial, jadi pasarnya sudah terbentuk juga secara organik,” katanya.