Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Tradisi Berladang Suku Dayak Dituding Picu Karhutla

Kompas.com - 31/08/2021, 11:21 WIB
Zakarias Demon Daton,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

SAMARINDA, KOMPAS.com – Setiap tahun saat tiba masa Nugal (tanam padi), biasa Agustus sampai September, orang-orang dari Kampung Ongko Asa, Kutai Barat, Kalimantan Timur (Kaltim) ramai-ramai pergi ke ladang.

Mereka gotong royong menanam benih padi dari satu ladang ke ladang lain, secara bergantian.

Laki-laki bertugas membuat lubang dari kayu runcing ditancapkan ke lahan, sementara perempuan menyusul dengan menanam atau mengisi benih padi ke dalam lubang itu dan menutup.

"Kerja keroyokan ini, jadi tradisi kami setiap kali musim Nugal,” ungkap Isminah (36), peladang perempuan dari Kampung Ongko Asa, ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (30/8/2021).

Baca juga: Kisah Damanhuri, Penerjemah Al Quran ke Bahasa Dayak Kanayatn

Ibu dua anak ini bilang, pola kerja seperti ini dalam masyarakat Dayak Tunjung bukan hanya saat Nugal, saat bakar ladang pun begitu.

Isminah dan suaminya, Rumadio (38) mengolah satu ladang seluas satu hektar dengan status ladang tetap.

Ladang tetap, kata Isminah lebih mudah dibersihkan, rumput-rumput tidak banyak karena tiap tahun ada kegiatan bercocok tanam.

Perlakuan ini berbeda dengan membuka ladang baru di hutan. Isminah bilang dari awal menebas sampai membakar butuh banyak masyarakat.

Peladang perempuan di Kampung Ongko Asa, Kutai Barat, Kaltim bernama Isminah saat masa tanam padi di ladang miliknya, September 2020. Dok. Teresia Jari Jatam Kaltim Peladang perempuan di Kampung Ongko Asa, Kutai Barat, Kaltim bernama Isminah saat masa tanam padi di ladang miliknya, September 2020.

Selain lebih susah karena hutan belukar, juga karena tradisi turun temurun.

Ketika membakar ladang pun, gotong royong. Orang sekampungan turun menjaga biar api tidak menjalar.

"Dulu ada ritualnya sebelum buka ladang baru, sekarang jarang sudah," terang dia.

Baca juga: Birute Galdikas Dokter Jerman, 50 Tahun Mengabdi untuk Orangutan, Menikah dengan Pria Dayak

Cara mengantisipasi biar api tidak menjalar ke hutan, kata Isminah, biasa dibuat sekat atau batas dengan membersihkan pinggiran ladang hingga mempersiapkan alat semprot tradisional, pemukul api, dan lain-lain.

"Saat dibakar semua jaga dari pinggiran (ladang) keliling. Caranya bakar dari pinggir, keliling sampai ke tengah sambil memperhatikan arah angin. Jadi tidak sembarangan," tegas dia.

Fransiskus Suseno, Peladang di Kampung Ongko Asa, Kutai Barat, Kaltim saat masa tanam padi di ladang milik seorang peladang, September 2020. Dok. Teresia Jari Jatam Kaltim Fransiskus Suseno, Peladang di Kampung Ongko Asa, Kutai Barat, Kaltim saat masa tanam padi di ladang milik seorang peladang, September 2020.
Setelah bakar, kata Isminah, pemilik ladang biasa menunggu sampai malam, memastikan api tidak menjalar baru bisa pulang.

Proses itu berlangsung sejak dahulu. Karenanya, sebagai peladang yang sejak lahir dan besar di kampung ini dengan mayoritas suku Dayak Tunjung ini, yakin betul tradisi bakar ladang masyarakat adat jarang memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) karena diawasi ketat oleh masyarakat.

Meski begitu, Dinas Kehutanan Kaltim maupun Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kaltim menyebut masyarakat buka ladang dengan cara membakar penyebab utama karhutla.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat pada 2019, total luasan karhutla di Kaltim mencapai 68,524 hektar. Jumlah ini terbesar selama selama enam tahun terakhir.

Baca juga: 13 Tahun Perjuangan Warga Dayak Modang Lai Kalimantan Cari Keadilan, Tanah Adat Rusak karena Konflik Sawit

Sebelumnya pada 2016 total luas lahan dan hutan terbakar di Kaltim sebanyak 43.136,78 hektar.

Pada 2017 sempat menurun menjadi 676,38 hektar. Namun, 2018 naik lagi jadi 27.893,20 hektar hingga tertinggi pada 2019.

Meski begitu, dua tahun terakhir cenderung turun. Data KLHK, selama 2020 luas karhutla Kaltim hanya 5.221,00 hektar. Sampai Agustus tahun ini hanya 414,00 hektar.

Kobaran api melahap lahan seluas 30 hektar di Labanan, Berau, Kaltim, Agustus 2018. Dok. Dishut Kaltim. Kobaran api melahap lahan seluas 30 hektar di Labanan, Berau, Kaltim, Agustus 2018.

Kepala Dinas Kehutanan Kaltim, Amrullah menyebutkan faktor utama pemicu karhutla di Kaltim yakni pembukaan ladang oleh masyarakat dengan membakar.

"Buka ladang itu loh. Masyarakat membakar, kemudian berpindah-pindah. Ini faktor utama (pemicu)," ungkap Amrullah saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (28/8/2021).

Kepala Seksi Pengendali Kerusakan dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Kaltim, Shahar Al Haqq menambahkan, faktor pembukaan ladang dengan membakar oleh masyarakat menyumbang sekitar 90-an persen.

"Pelaku ya masyarakat, petani yang buka kebun, tapi tidak semua," kata dia.

Baca juga: Tangkap 3 Tokoh Adat Dayak Modang Long Wai, Polisi: 2 Kali Panggilan Tak Hadir

Selain petani, kata Shahar faktor lain akibat kelalaian membuang puntung rokok sembarang atau pun sisa api unggun serta faktor alam.

Ditreskrimsus Polda Kaltim melaporkan sebanyak 12 pelaku diproses hukum karena kasus karhutla sejak 2019 sampai Agustus 2021.

Dari jumlah pelaku tersebut, semuanya perorangan, tidak ada koorporasi.

Alasan membakar

Selain Isminah, peladang lain dari Kampung Ongko Asa, Fransiskus Suseno (32) juga tidak sepakat, petani atau peladang yang bakar ladang dituding pemicu utama karhutla.

Menurut dia, masyarakat adat punya cara sendiri membakar dan melindungi hutan.

"Kalau ditanya kenapa kami pakai bakar, selain karena tradisi, juga biar ladang bersih. Saat Nugal kondisi ladang harus bersih, biar tanam ke lubang bisa kelihatan," ungkap pria dengan sapaan Acam ini saat dihubungi Kompas.com.

Acam meminta, dinas atau pun pihak terkait bisa menyaksikan proses pembakaran ladang di lokasi, biar tudingan terhadap masyarakat buka ladang, bisa diluruskan.

"Beberapa kali saya temukan di wilayah sini, titik api justru muncul dari wilayah izin perusahaan, bukan ladang masyarakat," sebut dia.

Baca juga: Ular Sanca hingga Kura-kura Mati Terbakar akibat Karhutla di Riau

Sekretaris Adat Dayak Modang di Kabupaten Kutai Timur, Beng Lui menjelaskan tahapan buka ladang sampai tanam padi merupakan serangkaian tradisi yang sudah dijalankan turun temurun termasuk cara membakar.

Dari rangkaian itu ada pelaksanaan ritual adat dan kepercayaan yang menjadi kearifan lokal masyarakat adat di Kaltim termasuk suku Dayak Modang.

"Sampai sekarang kami masih menyakini padi sebagai nyawa layaknya manusia. Makanya ritual tanam padi ini, ada tarian Hudoq yang dipercayai memanggil roh baik untuk kesuburan tanah dan padi," kata dia saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (28/8/2021).

"Jadi itu (bakar ladang) hanya versi pemerintah. Mereka enggak pernah lihat ke lapangan," sambungnya.

Beng Lui khawatir, bahwa tudingan bakar ladang disebut pemicu utama karhutla, bisa bikin masyarakat meninggalkan tradisi berladang. Karena, takut terjerat hukum.

Baca juga: Dibantu Helikopter BNPB, Kebakaran Hutan akibat Erupsi Gunung Ile Lewotolok Dipadamkam

Selain itu, kata dia, tudingan itu akan membuka ruang penegak hukum akan menyasar masyarakat adat karena disebut aktor dominan picu karhutla.

"Padahal perusahaan pernah diawasi enggak? Saya lihat sekarang ada modus baru. Perusahaan bagi bibit ke masyarakat, kemudian masyarakat menebas buka kebun, pasti ujung-ujung dibakar. Tapi tetap masyarakat juga yang jadi kambing hitam setelahnya jika ada masalah, padahal perusahaan biang kerok," jelas dia.

Nilai kearifan lokal

Aktivis Lingkungan Kaltim, Akhmad Wijaya menjelaskan, masyarakat Dayak punya metodelogi dan kearifan lokal dalam membakar lahan.

Dayak Kenyah, misalnya, kepala adat kepala akan menentukan waktu dimulai bakar dengan melihat posisi matahari.

"Ada kayu disimpan di tengah kampung atau rumah panjang, sebagai penentu waktu. Sampai menurut kepala adat boleh, baru dibakar," ungkap Wijaya saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (29/8/2021).

Berbeda dengan, Dayak Bahau dan Dayak Benua. Metodologis membakar ladang kedua suku ini, kata dia menggunakan petunjuk arah angin.

Baca juga: Warga Dayak Long Wai 13 Tahun Berjuang Mengembalikan 4.000 Hektar Tanah Adat dari Perusahaan Sawit

Mereka menggantung tempayang depan rumah, dengan coretan arang hitam. Gantungan itu sekaligus pertanda ada warga sedang bakar ladang.

"Jadi cukup mudah identifikasi. Begitu ada kebakaran, semua orang langsung tahu di ladang siapa terbakar. Bagi saya ini cara peringatan dini versi mereka," tuturnya.

Selain itu, kearifan lokal dengan menggantung tempayang juga memercayai saat pembakaran ladang, bakal dijaga dewa-dewa, supaya api bagus, dan lain-lain.

Cara lain, Dayak Benua sebelum bakar, masyarakat menyiapkan alat semprot dari bambu.

"Mereka juga menyiapkan alat pemukul api," terangnya.

Di samping itu, pilihan membakar juga dianggap mengurangi hama, menetralisir kadar asam tanah di Kaltim yang rata-rata memiliki yang pH rendah, di bawah 5, dan memperlambat tumbuh gulma.

Baca juga: Hadiah Rp 100 Juta untuk Desa yang Berhasil Pertahankan Wilayah Bebas Karhutla

Hanya saja, Wijaya bilang belakangan ini tradisi kearifan lokal yang berlangsung turun temurun itu, mulai memudar seiring perkembangan zaman.

Misalnya, dia menemukan motivasi orang berladang yang sebelumnya murni kebutuhan pangan, kini berubah orientasi yang cenderung hanya ganti rugi ketika masuk perusahaan.

"Jadi sekarang ini, banyak juga yang mengikuti metodologi membakarnya, tapi meninggalkan kearifan lokalnya," terang dia.

Peladang di Kampung Ongko Asa, Fransiskus Suseno bilang salah satu faktor masyarakat meninggalkan kearifan lokal seperti ritual-ritual adalah agama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Saat Seorang Ayah Curi Sekotak Susu untuk Anaknya yang Menangis Kelaparan...

Saat Seorang Ayah Curi Sekotak Susu untuk Anaknya yang Menangis Kelaparan...

Regional
Kantor Dinas PKO Manggarai Barat Digeledah Terkait Dugaan Korupsi

Kantor Dinas PKO Manggarai Barat Digeledah Terkait Dugaan Korupsi

Regional
Menilik SDN Sarirejo, Jejak Perjuangan Kartini di Semarang yang Berdiri sejak Ratusan Tahun Silam

Menilik SDN Sarirejo, Jejak Perjuangan Kartini di Semarang yang Berdiri sejak Ratusan Tahun Silam

Regional
Anggota DPD Abdul Kholik Beri Sinyal Maju Pilgub Jateng Jalur Independen

Anggota DPD Abdul Kholik Beri Sinyal Maju Pilgub Jateng Jalur Independen

Regional
Duduk Perkara Kasus Order Fiktif Katering di Masjid Sheikh Zayed Solo, Mertua dan Teman Semasa SMA Jadi Korban

Duduk Perkara Kasus Order Fiktif Katering di Masjid Sheikh Zayed Solo, Mertua dan Teman Semasa SMA Jadi Korban

Regional
Kisah Nenek Arbiyah Selamatkan Ribuan Nyawa Saat Banjir Bandang di Lebong Bengkulu

Kisah Nenek Arbiyah Selamatkan Ribuan Nyawa Saat Banjir Bandang di Lebong Bengkulu

Regional
Prakiraan Cuaca Semarang Hari Ini Rabu 24 April 2024, dan Besok : Malam Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Semarang Hari Ini Rabu 24 April 2024, dan Besok : Malam Hujan Ringan

Regional
Demam Berdarah, 4 Orang Meninggal dalam 2 Bulan Terakhir di RSUD Sunan Kalijaga Demak

Demam Berdarah, 4 Orang Meninggal dalam 2 Bulan Terakhir di RSUD Sunan Kalijaga Demak

Regional
Pilkada Sikka, Calon Independen Wajib Kantongi 24.423 Dukungan

Pilkada Sikka, Calon Independen Wajib Kantongi 24.423 Dukungan

Regional
Bentrok 2 Kelompok di Mimika, Dipicu Masalah Keluarga soal Pembayaran Denda

Bentrok 2 Kelompok di Mimika, Dipicu Masalah Keluarga soal Pembayaran Denda

Regional
Faktor Ekonomi, 5 Smelter Timah yang Disita Kejagung Akan Dibuka Kembali

Faktor Ekonomi, 5 Smelter Timah yang Disita Kejagung Akan Dibuka Kembali

Regional
Soal Temuan Kerangka Wanita di Pekarangan Rumah Residivis Pembunuhan, Ada Bekas Luka Bakar

Soal Temuan Kerangka Wanita di Pekarangan Rumah Residivis Pembunuhan, Ada Bekas Luka Bakar

Regional
Pencarian Dokter RSUD Praya yang Hilang Saat Memancing di Laut Dihentikan

Pencarian Dokter RSUD Praya yang Hilang Saat Memancing di Laut Dihentikan

Regional
Dampak Banjir Demak, Ancaman Hama dan Produksi Kacang Hijau bagi Petani

Dampak Banjir Demak, Ancaman Hama dan Produksi Kacang Hijau bagi Petani

Regional
Direktur Perumda Air Minum Ende Nyatakan Siap Maju Pilkada 2024

Direktur Perumda Air Minum Ende Nyatakan Siap Maju Pilkada 2024

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com