SAMARINDA, KOMPAS.com – Setiap tahun saat tiba masa Nugal (tanam padi), biasa Agustus sampai September, orang-orang dari Kampung Ongko Asa, Kutai Barat, Kalimantan Timur (Kaltim) ramai-ramai pergi ke ladang.
Mereka gotong royong menanam benih padi dari satu ladang ke ladang lain, secara bergantian.
Laki-laki bertugas membuat lubang dari kayu runcing ditancapkan ke lahan, sementara perempuan menyusul dengan menanam atau mengisi benih padi ke dalam lubang itu dan menutup.
"Kerja keroyokan ini, jadi tradisi kami setiap kali musim Nugal,” ungkap Isminah (36), peladang perempuan dari Kampung Ongko Asa, ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (30/8/2021).
Baca juga: Kisah Damanhuri, Penerjemah Al Quran ke Bahasa Dayak Kanayatn
Ibu dua anak ini bilang, pola kerja seperti ini dalam masyarakat Dayak Tunjung bukan hanya saat Nugal, saat bakar ladang pun begitu.
Isminah dan suaminya, Rumadio (38) mengolah satu ladang seluas satu hektar dengan status ladang tetap.
Ladang tetap, kata Isminah lebih mudah dibersihkan, rumput-rumput tidak banyak karena tiap tahun ada kegiatan bercocok tanam.
Perlakuan ini berbeda dengan membuka ladang baru di hutan. Isminah bilang dari awal menebas sampai membakar butuh banyak masyarakat.
Selain lebih susah karena hutan belukar, juga karena tradisi turun temurun.
Ketika membakar ladang pun, gotong royong. Orang sekampungan turun menjaga biar api tidak menjalar.
"Dulu ada ritualnya sebelum buka ladang baru, sekarang jarang sudah," terang dia.
Baca juga: Birute Galdikas Dokter Jerman, 50 Tahun Mengabdi untuk Orangutan, Menikah dengan Pria Dayak
Cara mengantisipasi biar api tidak menjalar ke hutan, kata Isminah, biasa dibuat sekat atau batas dengan membersihkan pinggiran ladang hingga mempersiapkan alat semprot tradisional, pemukul api, dan lain-lain.
"Saat dibakar semua jaga dari pinggiran (ladang) keliling. Caranya bakar dari pinggir, keliling sampai ke tengah sambil memperhatikan arah angin. Jadi tidak sembarangan," tegas dia.