Bagian paling belakang, ada guling atau kemudi. Posisinya bersandar pada sanggilang tommoane dan sanggilang towaine atau sanggar kemudi laki dan perempuan.
Hal ini sesuai dengan konsep gender lokal Mandar yang disebut siwaliparri, penghargaan dan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam membangun dan mengarahkan perahu kehidupan.
Seperti juga pinisi, sandeq mengandalkan embusan angin yang ditangkap oleh layar besar sebagai penggerak untuk menaklukkan lautan.
Horst Hibertus Liebner, peneliti kemaritiman asal Jerman yang telah tiga dekade meneliti budaya kelautan masyarakat Sulawesi, menilai bahwa Mandar adalah suku paling pemberani.
Baca juga: Saulak, Tradisi Pra-nikah nan Mistis Suku Mandar di Banyuwangi
Seperti dikutip dari bukunya, "Perahu-perahu Tradisional Nusantara", ia mengatakan para pelaut Mandar dengan berbekal sandeq mampu mengarungi lautan selama berhari-hari mencari ikan bahkan hingga ratusan kilometer jauhnya dari kampung mereka.
Perahu berlayar segitiga dengan ciri khas seluruh tubuhnya diberi cat putih sebagai lambang kesucian jiwa ini merupakan penciptaan budaya kemaritiman tertinggi yang disandang orang-orang Mandar.
Bagi sebagian peneliti termasuk pengamat budaya Mandar, Muhammad Ridwan Alimuddin, perahu sandeq diyakini dikembangkan dari model sejenis bernama pakur oleh para pembuat perahu di Desa Pambusuang, Polewali Mandar pada era 1930-an.
Baca juga: Tradisi Siwaliparri, Memupuk Kebersamaan ala Suku Mandar
Tetapi beda halnya dalam pandangan Robert Dick-Read, penulis buku The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times.
Ia menyebutkan bahwa para pelaut ulung Sulawesi sudah menaklukkan lautan dengan perahu bercadik sejak 1.000 tahun sebelum Masehi.
“Mereka datang dari sebuah semenanjung kecil di barat daya Sulawesi. Merekalah yang berhasil menemukan sistem cadik yang berguna sebagai penyeimbang kiri dan kanan perahu, untuk mengatasi ganasnya ombak lautan, serta menerapkan bermacam cara memancing,” demikian dituliskannya.
Karena keistimewannya, sandeq tercatat sebagai warisan budaya tak benda Indonesia seperti tercantum di dalam laman situs Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Perahu tradisional yang dapat dipakai hingga 30 tahun ini telah tercantum sebagai aset budaya nasional dengan nomor registrasi 2011002025 pada 2011.
Ada tiga tipe sandeq untuk mencari ikan seperti dicantumkan oleh laman situs Kemendibudristek.
Pertama adalah sandeq paroppo untuk menangkap ikan tuna di roppo atau rumpon, lalu sandeq potangnga untuk menangkap ikan terbang (Exocoetidae).
Baca juga: Beli Mobil Dinas Mercy Seharga Rp 2,5 M di Tengah Pandemi, Bupati Polewali Mandar Sulbar Dikritik
Kemudian ada sandeq pangoli untuk menangkap ikan tongkol dan sandeq pappasar untuk mengangkut barang dagangan dari pasar ke pasar yang berada di tepi pantai.