BANDUNG,KOMPAS.com - Mural yang memperlihatkan sosok yang diduga mirip Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sempat terpampang di tembok luar jembatan Pasupati, tepatnya di Jalan Prabu Dimuntur, Kota Bandung.
Gambar berwarna hitam putih yang diperkirakan setinggi dua meter lebih itu memperlihatkan sesosok pria dengan rambut disisir ke pinggir, mengenakan masker yang menutupi matanya.
Tak jauh dari gambar itu terdapat ada tulisan 'Niskala' di pinggir gambar pria itu.
Baca juga: Video Viral di Bandung, Seorang Perempuan Mencuri Tas di Masjid
Salah seorang sekuriti bernama Yanto, yang biasa berjaga di salah satu restoran tak jauh dari lokasi mural mengatakan bahwa dirinya tak mengetahui jelas kapan gambar mural itu menempel di dinding luar jembatan Pasupati.
Namun ia memperkirakan gambar mulai ada saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diberlakukan di Kota Bandung.
Baca juga: Lebih dari 1.600 Sekolah di Bandung Siap Belajar Tatap Muka Terbatas
Namun ia tak mengetahui waktu pastinya lantaran tak terlalu memperhatikan mural itu.
"Semenjak PPKM kayaknya, belum lama ini kalau gak salah, saya gak terlalu memperhatikan betul soalnya," ucap Yanto di temui di lokasi, Kamis (26/8/2021).
Namun, mural tersebut kini telah dihapus dan ditimpa cat warna abu. Yanto mengungkapkan bahwa yang menghapusnya adalah petugas Satpol PP daerah setempat.
Sebelum mengecat, kata Yanto, Rabu (25/8/2021) malam, petugas mengerik terlebih dahulu mural tersebut. Penghapusan dilanjutkan Kamis siang dengan menimpanya dengan cat warna abu menutupi mural itu.
"Barusan di cat sama petugas Satpol PP, tadi pinjem kursi ini, dia juga minta bantu. Katanya khawatir Presiden lewat," ujarnya.
Menanggapi mural itu, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Bandung, Ajun Komisaris Besar Polisi Rudi Trihandoyo mengatakan bahwa pihaknya saat ini tengah mencari orang yang menggambar mural mirip Jokowi itu.
"Kita nanti cari, siapa yang buatnya," ucapnya dihubungi terpisah.
Pencarian tersebut dilakukan untuk menanyakan maksud dari gambar tersebut.
"Apa maksudnya gambar-gambar seperti itu," tuturnya.
Penyelidikan sendiri tengah dilakukan saat ini, nantinya polisi akan memeriksa terlebih dahulu si pembuat mural itu.
"Kita tanya dulu, kalau ketangkep orangnya, kita interview, apa maksud dan tujuannya. Apakah itu kritik sosial atau bagaimana. Nanti kita imbau dan peringatkan," katanya.
Polisi tak sembarang menerapkan pidana terhadap aksi tersebut, pasalnya ada tahapan-tahapan yang harus ditempuh apabila masuk ke ranah pidana.
Menurut Rudi, pidana bisa diterapkan apabila ada unsur penghinaan terhadap Presiden atau lambang negara.
"Enggak (pidana) kalau kritik, tapi kalau menghina kepala negara atau presiden ada pasalnya. Kita lihat nanti, kalau ternyata tidak ada dasar hukumnya kita tidak akan proses," ucapnya.
Menanggapi fenomena mural itu, Wakil Rektor III Universitas Pasundan Bandung sekaligus Pemerhati Komunikasi Publik Deden Ramdan mengatakan, bahwa saat ini publik dihadapkan pada persoalan mural sebagai bentuk ekspresi dari sebuah seni yang dijamin konstitusi, di mana rakyat punya hak untuk berekpresi sesuai dengan pemikirannya.
"Kita lihat apakah sebuah bentuk kritik sosial atas situasi pandemi hari ini yang mengakibatkan beberapa lapisan masyarakat secara status ekonomi kemudian menganggur, putus pekerjaan sehingga terjadi problematika," tuturnya.
Namun di sisi lain, ada sebagian pihak yang memandang mural tersebut sebagai hal yang dianggap melanggar simbol-simbol negara, dalam hal ini gambar mirip Presiden RI Jokowi atau kepala negara.
"Ada yang menganggap sebagai pelanggaran terhadap simbol negara," ucapnya.
Namun yang jadi persoalan, katanya, adalah bagaimana kita menafsirkan mural tersebut. Pasalnya mural itu pun multitafsir.
"Ini persoalan tafsir karena mural ini multitafsir," ucapnya.
Terkait tindakan petugas yang menghapus mural tersebut, Deden menilai dari sisi hierarki tingkat pusat ke bawah dalam hal ini kelurahan atau aparat desa ada saja yang memandang mural itu pelanggaran simbol negara yang patut untuk dihapus.
"Hari ini ketika bicara di kota Bandung dengan tafsirannya seperti itu, kalau saya lihat aparatur itu sendiri tentu berbeda cara menafsirkannya. Jadi saya memandang hal seperti ini ciri khas dinamika dari bagaimana negara indonesia, sebagai negara yang melaksanakan nilai demokrasi ini di uji," ucapnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.