Menanggapi fenomena mural itu, Wakil Rektor III Universitas Pasundan Bandung sekaligus Pemerhati Komunikasi Publik Deden Ramdan mengatakan, bahwa saat ini publik dihadapkan pada persoalan mural sebagai bentuk ekspresi dari sebuah seni yang dijamin konstitusi, di mana rakyat punya hak untuk berekpresi sesuai dengan pemikirannya.
"Kita lihat apakah sebuah bentuk kritik sosial atas situasi pandemi hari ini yang mengakibatkan beberapa lapisan masyarakat secara status ekonomi kemudian menganggur, putus pekerjaan sehingga terjadi problematika," tuturnya.
Namun di sisi lain, ada sebagian pihak yang memandang mural tersebut sebagai hal yang dianggap melanggar simbol-simbol negara, dalam hal ini gambar mirip Presiden RI Jokowi atau kepala negara.
"Ada yang menganggap sebagai pelanggaran terhadap simbol negara," ucapnya.
Namun yang jadi persoalan, katanya, adalah bagaimana kita menafsirkan mural tersebut. Pasalnya mural itu pun multitafsir.
"Ini persoalan tafsir karena mural ini multitafsir," ucapnya.
Terkait tindakan petugas yang menghapus mural tersebut, Deden menilai dari sisi hierarki tingkat pusat ke bawah dalam hal ini kelurahan atau aparat desa ada saja yang memandang mural itu pelanggaran simbol negara yang patut untuk dihapus.
"Hari ini ketika bicara di kota Bandung dengan tafsirannya seperti itu, kalau saya lihat aparatur itu sendiri tentu berbeda cara menafsirkannya. Jadi saya memandang hal seperti ini ciri khas dinamika dari bagaimana negara indonesia, sebagai negara yang melaksanakan nilai demokrasi ini di uji," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.