Sempat stres karena pandemi
Bulan Januari 2020 Rofin mulai memesan 800 ekor ayam. Tak berselang lama, pandemi melanda Indonesia.
Sempat mengalami stres, Rofin pun dikuatkan dengan orang-orang di sekitarnya.
"Mereka bilang, jika ada persoalan stunting dan membutuhkan telur dan ayam kampung mereka pasti kesulitan kalau tidak ada saya," katanya.
Baca juga: Kisah Yanuarius, Pensiunan Guru yang Memilih Jadi Petani Cabai, Raup Omzet Puluhan Juta
Ikut andil memberantas stunting
Ternyata, omongan mereka ada benarnya. Pada Mei 2020, perangkat Desa Kajowair, Kecamatan Hewokloang datang menemuinya dan mengajak kerja sama memberantas stunting.
Dari situlah, desa lainnya hingga pihak Puskesmas mengajaknya bekerja sama.
“Dulu saya bingung mau jual kemana. Sekarang pusing, karena harus menjaga stok dan keberlanjutan ayam," ujarnya.
Ia menyebutkan, dalam seminggu, dirinya harus menyediakan 20 sampai 30 papan telur untuk pelanggan.
"Setiap hari saya harus mengirim 180 butir telur ayam ditaksasi Rp 5.000/butir dan daging ayam kampung Rp 150.000/ekor sesuai ukuran berat berkisar 1 kg-1,5 kg sebanyak 16 ekor/minggu," ungkapnya.
Baca juga: Dihubungi Menteri via Video Call, Penjual Cilok: Saya Sangat Terharu dan Bahagia
Ia mengaku, di tengah pandemi Covid-19 banyak juga yang membeli telur ayam untuk menaikan imun tubuh.
Dalam merawat ternaknya, Rofin mengatakan,tidak menggunakan obat-obatan kimia dan membuat ramuan sendiri berbahan lokal.
Sementara makanan ayam dari bahan lokal berupa jagung, dedak padi, konsentrat dan protein.
“Setiap minggu sekali saya memberi jamu sebagai ramuan untuk ayam dan dicampur dengan makanan agar telurnya lebih sehat dikonsumsi,” paparnya.
Diakui Rofin, selama 3 kali mencoba beternak, sebanyak 200 ekor ayamnya mati. Namun, ia tetap memilih bertahan jadi peternak.