Pemerintah beberapa kali mengganti istilah dalam kebijakan aturan pembatasan.
Pertama kali, menggunakan istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kemudian kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro.
Setelah itu dikeluarkan kebijakan penebalan PPKM mikro. Kemudian diberlakukan kebijakan PPKM Darurat.
Saat ini menggunakan istilah PPKM Level 4-3. Bahkan pemerintah memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa - Bali selama seminggu sampai 23 Agustus 2021 mendatang.
Terkait beberapa kali perubahan istilah kebijakan aturan pembatasan, Dekan Fakultas Ilmu Sipil dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini melihat hanyalah soal narasi.
Ukuran penanganan Covid-19 tetaplah sama yakni tentang tracing, testing, jaga jarak, pembatasan mobilitas dan bentuk-bentuk perlindungan ekonomi.
"Kalau menurut pendapat saya hanya soal narasi kebijakan bahwa ini seolah-olah baru dan beda dengan sebelumnya, karena kalau substansinya mirip- mirip. Sehingga harapanya mungkin masyarakat punya kegairahan berbeda, wah ada kebijakan baru kita harus ikuti, kayak gitu," urainya.
Baca juga: PPKM Level 4 Diperpanjang hingga 6 September, Wali Kota Banjarmasin Pasrah
Namun demikian, Wawan Mas'udi menegaskan apa pun istilah dan bentuk kebijakannya, pada akhirnya ukuran terpenting dari penanganan pandemi Covid-19 tetaplah penurunan angka kasus positif, angka kasus kematian, tingkat penularan menurun, dan bad occupancy rate (BOR) rumah sakit turun.
Jika itu terjadi, maka kebijakan yang diterapkan pemerintah mempunyai dampak.
"Meskipun itu enggak cukup ya, karena PPKM kan bukan hanya soal pembatasan orang, tapi konsekuensi policy nya apa. Termasuk kita tahu untuk wilayah-wilayah yang masuk level 4 konsekuensi policy yang paling penting kan percepatan vaksin, itu yang mungkin di policy sebelumnya tidak ada. Ada konsekuensi lain di luar pembatasan, misalnya terkait soal percepatan vaksinasi," tuturnya.
Menurutnya kebijakan pemerintah dengan percepatan vaksinasi sudah tepat. Sebab dengan semakin banyak warga masyarakat yang mendapatkan vaksin, maka herd immunity akan segera tercapai.
"Kalau kita percaya pada sains salah satu cara tercepat untuk membangun kekebalan kelompok herd immunity kan memang vaksin, pilihanya cuma dua. Satu tertulari semua atau yang kedua divaksin semua," tegasnya.
Namun demikian, dalam proses percepatan ini pemerintah perlu melihat ketersediaan vaksin. Sebab saat ini, Indonesia masih tergantung vaksin dari luar negeri.
"Kita harus tahu kapasitas dan ketersediaan vaksinya seperti apa. Ini yang saya kira menjadi pekerjaan rumah terpenting, upaya untuk membangun vaksin berbasis teknologi dalam negeri," tuturnya.