Saat ini, akses komunikasi dengan keluarga yang masih bertahan di Afganistan sangat sulit.
Zia tidak bisa menghubungi adik-adiknya.
Dia menduga, adiknya telah kabur dari rumah, lantaran takut dipaksa bergabung dengan Taliban dan ikut berperang sejak kelompok itu menduduki Ibukota Kabul.
Menurut Zia, Taliban memang sering memaksa laki-laki di atas usia 15 tahun untuk angkat senjata melawan siapa pun yang dianggap musuh.
Zia sebelumnya bekerja sebagai relawan di sebuah klinik dalam program vaksinasi polio, saat perang antara Taliban dan Pemerintah mulai berkecamuk dan dibantu oleh Amerika Serikat.
Menurut dia, Taliban turut memburu orang-orang yang bekerja dengan pemerintah, termasuk para tenaga kesehatan.
Dia bahkan sempat menyaksikan beberapa rekan seprofesinya tewas di ujung senapan.
Saat itu Zia terpaksa membuang seluruh identitasnya sebagai relawan kesehatan.
Saat merasa nyawanya terancam, Zia memutuskan meninggalkan Afghanistan dan mencari suaka ke negara lain.
Zia berharap dapat membawa seluruh anggota keluarganya.
Hal senada juga dilontarkan oleh Muhammad Reza.
Reza mengakui bahwa kelompok bersenjata itu melanggar hak asasi manusia dan budaya.
Salah satunya, perempuan tidak diizinkan keluar rumah tanpa baju yang tertutup plus burkak.
Kaum perempuan juga dilarang mengakses pendidikan dan tidak dizinkan mengendarai kendaraan bermotor.
Sementara kaum laki-laki, menurut Reza, diwajibkan memelihara janggut.
"Pemerintah lebih baik dalam mengelola Afghanistan ketimbang Taliban. Pemerintah tidak pernah mengatur cara berpakaian kami. Kalau Taliban, laki-laki yang mau bermain sepak bola saja harus menutupi hampir seluruh kaki. Itu yang kami rasakan sejak Taliban ada pada 1990-an." kata Reza yang juga merupakan bagian dari etnis Hazara.