MATARAM, KOMPAS.com - Warga pemilik lahan di Lingkar Sirkuit MotoGP Mandalika, mendatangi Kantor Gubernur NTB, Senin (23/8/2021).
Warga datang memenuhi undangan Gubernur NTB Zulkieflimansyah terkait kasus sengekta lahan mereka yang berujung pada tertutupnya akses jalan menuju kampung mereka.
Mereka berasal dari dua dusun, yaitu warga Dusun Ebunut dan Dusun Ujung Lauq, Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah.
Pertemuan dilakukan tertutup di ruangan Gubernur, warga yang masuk pun dibatasi.
Baca juga: Kisah Sukani Penjual Sayur Keliling yang Terjebak di Dalam Sirkuit MotoGP Mandalika
Hadir juga Kapolres Lombok Tengah, AKBP Heri Indra Cahyono, dan pihak Polda NTB, Sekda NTB, dan sejumlah Kepala Dinas, Bakesbangpoldagri, Lalu Abdul Wahid.
Pertemuan yang dilakukan selama 1,5 jam itu belum membuahkan hasil yang diharapkan warga.
Warga masih menunggu realisasi di lapangan, apakah akan ada akses jalan untuk keluar masuk kampung mereka.
"Tadi Gubernur sudah mendengarkan apa yang menjadi keluhan kami, apalagi Gubernur sempat belusukan ke kampung kami melihat langsung situasi di sana dan sulitnya akses jalan untuk kami," kata Damar (43), salah seorang warga dari Dusun Ebunut yang turut dalam pertemuan tertutup itu, Senin.
Damar mengatakan, selama pagar sirkuit MotoGP mandalika belum dibangun, mereka bisa masuk ke kampung halaman mereka dengan nyaman, meski sering dibatasi aparat keamanan.
Namun, setelah sirkuit dipagar keliling, warga justru kesulitan beraktivitas, bahkan terisolasi di kampung sendiri yang berada di tengah tengah sirkuit.
"Ada jalan yang diberikan pihak ITDC, yaitu melewati tunnel atau terowongan 1, namun terowongan itu justru sering tergenang air bahkan sampai setinggi leher orang dewasa, dan itu terjadi jika air laut pasang, mulai pagi hingga jam 10 pagi, warga yang mengantar anaknya sekolah sangat kesulitan," terang Damar.
Hal sedana dikatakan Abdul Latif (34), yang juga hadir ke kantor Gubernur.
Latif masih bertahan di lokasi karena lahannya seluas 11 are, diklaim belum dibayarkan oleh pihak ITDC.
Dia menyebut, ITDC mengklaim lahannya sebagai HPL, padahal Latif sama sekali belum pernah menjual lahan tersebut.
Memang ITDC membayar lahannya yang masuk dalam katagori enclave seluas 8 are seharga Rp 71 juta per meter persegi.
Sisa tanahnya yang saat ini menjadi tempat tinggalnya bersama sejumlah anggota keluarga belum dibayar.