BLITAR, KOMPAS.com - Sekitar 5 kilometer dari Kota Blitar ke arah Malang, di sisi kiri jalan nasional berdiri patung setengah badan dari figur pria berpeci tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Garum.
Di sebelah patung terpampang tulisan tiga dimensi berwarna merah yang berbunyi "Taman Sukarni".
Patung itu berada di tengah sebuah taman kecil dengan ukuran sekitar 7 x 50 meter, persis berhimpitan dengan jalan nasional yang menghubungkan Blitar dan Malang.
"Dulunya ini lahan tidak terpakai, hanya digunakan pedagang kaki lima," kata Samuji, ketua rukun tetangga di Kelurahan Tawangsari, Kecamatan Garum dimana taman itu berada.
Baca juga: Pasar Kembang Surabaya Kebakaran, 70 Persen Kios di Lantai 2 Terbakar
"Tahun 2018 Pemkab Blitar menjadikan lahan ini sebagai Taman Sukarni sekaligus ruang terbuka hijau (RTH)," tambahnya.
Taman dan patung itu dibangun untuk mengenang tokoh Sukarni, salah satu tokoh di balik Peristiwa Rengasdengklok yang berasal dari Kabupaten Blitar.
Pahlawan nasional
Pembangunan Patung dan Taman Sukarni dilakukan Pemerintah Kabupaten Blitar persis 4 tahun setelah Presiden Jokowi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sukarni, 4 November 2014.
Lokasi taman berada sekitar 1,5 kilometer dari sebuah rumah di Desa Sumberdiren, Kecamatan Garum di mana Soekarni dilahirkan pada 14 Juli 1916.
Dia adalah anak ke-5 dari 9 bersaudara yang lahir dari ibu bernama Supiah dan ayah bernama Kartodiwiryo, seorang jagal sapi.
Lokasi taman itu mungkin juga merupakan saksi bisu masa kecil hingga remaja Soekarni yang dikenal badung sekaligus pemberani.
Entah karena badung atau ada unsur kecemburuan sosial, Sukarni remaja memang banyak dikisahkan sering menantang anak-anak orang Eropa atau keturunan Eropa.
"Cerita ibu saya (Karmiyem), Pak De (Sukarni) memang suka mencari gara-gara kalau lihat anak-anak orang Belanda," tutur Kiswoto, keponakan Sukarni yang tinggal berdekatan dengan rumah masa kecil Sukarni.
Menurut pria berusia 78 tahun itu, kebetulan di wilayah Garum ada cukup banyak orang-orang Eropa.
Mereka bekerja di sebuah pabrik gula di Garum yang menurutnya terbesar di Jawa Timur waktu itu.