WAINGAPU, KOMPAS.com - Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang masih merawat tradisi megalitikum.
Mengutip pemberitaan Kompas.com pada 6 April 2021, istilah megalitikum berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yang artinya batu.
Oleh karena itu, zaman megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar, di mana masyarakatnya menggunakan peralatan dari batu yang berukuran besar.
Baca juga: Monumen Bajra Sandhi: Merawat Ingatan Perjuangan Kemerdekaan RI di Bali
Kepala Bidang Destinasi dan Industri Pariwisata pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Timur Yudi Umbu T T Rawambaku menyebutkan, Sumba adalah negeri seribu megalitik.
"Bali dikenal sebagai Negeri 1.000 Pura, Lombok dikenal sebagai Negeri 1.000 Masjid, dan Sumba adalah Negeri 1.000 Megalitik," kata Yudi kepada Kompas.com, di Waingapu, Kamis (19/8/2021).
Sebutan itu bukan tanpa dasar. Beberapa kubur batu megalitikum pun hingga kini banyak dijumpai tersebar di empat kabupaten yang berada di wilayah Sumba.
Mulai dari Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya.
Mengenal kubur batu megalitikum di Kabupaten Sumba Timur
Situs kubur batu megalitikum dapat dijumpai di beberapa lokasi di Kabupaten Sumba Timur.
Antara lain, Praiyawang- Rende di Kecamatan Rindi dan Kampung Raja Prailiu, Kecamatan Kambera.
Kemudian ada juga Kampung Lailara, Kecamatan Katala Hamu Lingu dan Kampung Umabara di Kecamatan Umalulu, dan Kampung Lewa Paku di Kecamatan Lewa.
Situs kubur batu megalitikum juga terdapat di Kampung Mondu dan Kampung Prainatang, Kecamatan Kanatang.
Yudi menjelaskan, pada kuburan anggota keluarga maramba (bangsawan) biasanya terdapat relief hewan.
"Biasanya kuburan bangsawan itu reliefnya ayam, buaya, kura-kura, dan kuda. Motif atau relief itu melambangkan kebesaran. Misalnya buaya disebut Ana Wuya Rara. Kemudian, kura-kura disebut Ana Karawulang," ungkap Yudi.