BLITAR, KOMPAS.com - Keputusan memakamkan Presiden Soekarno (Bung Karno) di Blitar bisa salah jika bertujuan menutupi kuatnya pengaruh pemimpin kharismatik itu di hati rakyat Indonesia.
Kota Blitar banjir manusia pada 22 Juni, 41 tahun lalu, di hari Bung Karno dimakamkan di Taman Makam Karang Mulyo di Kelurahan Bendogerit.
Puluhan ribu orang datang ke kota kecil dan terpencil itu guna memberikan penghormatan terakhir kepada Sang Proklamator.
Mereka datang dari berbagai pelosok Kota dan Kabupaten Blitar bahkan dari daerah-daerah di sekitarnya.
Seorang saksi mata jalannya pemakaman Bung Karno, Amang Makmur menuturkan, lautan manusia memadati area dalam radius beberapa ratus meter dari pemakaman.
"Semakin dekat jarak ke makam semakin padat manusianya," kata Amang yang merupakan cucu Eyang Pramoe, sosok yang dihormati dan dituakan oleh Bung Karno.
Ribuan warga memenuhi sisi kanan dan kiri jalan sepanjang 80 kilometer saat ambulans yang membawa jenazah Bung Karno dari Bandara Abdul Rahman Saleh Malang ke Blitar melintas.
Baca juga: Kisah Cinta Hartini dan Bung Karno, Menemani hingga Ajal Menjemput Sang Proklamator
Mendekati lokasi makam, ambulans milik TNI Angkatan Darat itu pun tidak mungkin bergerak lebih dekat ke pemakaman karena padatnya manusia.
Saat keranda jenazah akhirnya dikeluarkan dari ambulans, prajurit yang bertugas menyerah ketika semakin dekat ke area pemakaman.
Amang mengatakan, keranda itu dibiarkan bergerak di atas kerumunan padat massa yang saling mengoper keranda hingga mendekati liang pemakaman.
Amang, dengan ukuran badannya yang relatif kecil, berusaha mengikuti jenazah Bung Karno di antara jepitan badan warga yang berjejal.
"Saya berhasil mendekat hingga pagar betis tentara yang menjaga liang penguburan," ujar Amang yang pada saat itu berusia 20-an tahun.
Setelah berjuang dan berhasil mencapai posisi terdekat yang memungkinkan, Amang mencoba melihat di sekelilingnya. Apa yang dia lihat membuatnya terbelalak.
"Ternyata orang-orang juga bergelantungan di pohon-pohon yang ada di sekeliling area makam. Mereka memanjat pohon apa pun, bahkan satu pohon kelapa bisa berisi beberapa orang," kenang Amang, yang kini berusia 71 tahun, saat berbincang dengan Kompas.com, akhir pekan lalu.