“Kadang warga yang punya motor simpannya di Desa Sabingtulung, baru pakai perahu ke Desa Tunjungan,” kata dia.
Karena kondisi itu, Syamsudin menilainya desanya sangat tertinggal sehingga butuh perhatian pemerintah.
Bahkan, anak-anak di desanya tak pernah nonton televisi sebagaimana anak-anak di kota-kota lain.
Tapi untuk jaringan internet masih bisa diakses meski tidak stabil.
“Bagaimana mau nonton TV. Kita hanya pakai bola lampu kecil-kecil disambungkan dari aki. Kalau aki habis, lampu mati. Anak-anak memang sulit belajar malam, itu belum lagi akses keluar masuk yang sulit,” pungkas dia.
Tak hanya desanya, desa tetangganya, yakni Desa Liang Buaya, Desa Sedulang, kata Samsudin juga tak ada PLN.
Merasa masih dijajah
Syamsudin menyebutkan sebanyak 330 kepala keluarga (KK) yang ada di Desa Tunjungan merasa belum merdeka meski Indonesia sudah berusia 76 tahun.
“Kami harap hanya dua saja. Listrik dan akses jalan darat. Kami enggak perlu lain-lain. Karena dengan dua hal ini ekonomi masyarakat bisa naik,” kata dia.
Sebab, selama dua hal itu belum terpenuhi, kata dia, mereka merasa masih terjajah.
“Kalau dari sisi penjajahan fisik memang sudah tidak ada. Tapi kalau kami ini, jalan enggak ada, listrik enggak ada, kami rasa masih dijajah dengan keterbelakangan. Kami Desa Tunjungan belum merdeka,” keluh Syamsudin.
Tak hanya Syamsudin, Kepala Desa Muara Beloan, Kecamatan Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat, Rudi Hartono juga mengungkapkan hal sama.
Rudi mengatakan saat ini warganya yang berjumlah 757 jiwa dari 208 kepala keluarga belum menikmati listrik negara.
Warganya kini menggunakan genset. Namun, biaya BBM mahal selalu di atas Rp 10.000 cukup menyulitkan warga. Akibatnya, sebagian warga masih menggunakan pelita.
“Di sini warga 95 persen ini nelayan sungai. Sementara sekarang ini penghasilan nelayan banyak merosot karena, orang luar tangkap ikan pakai seterum,” ungkap dia saat dihubungi Kompas.com.