Diceritakan, Tantri pernah tinggal di Surabaya, tepatnya di pemancar radio gelap yang dikelola oleh Bung Tomo, pimpinan pejuang di Surabaya.
Di radio itu, Bung Tomo siaran dua kali setiap malam. Pemancar radio itu bernama Radio Pemberontakan dan lokasinya tersembunyi di dalam sebuah rumah besar yang letaknya tidak jauh dari gedung pemancar yang resmi, Radio Surabaya.
Kala itu Tantri diminta siaran dua kali semalam dalam bahasa Inggris dan menyampaikan laporan perkembangan yang terjadi di Indonesia pada bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris di seluruh dunia.
Baca juga: Kisah Asmara Orangtua Sukarno di Bali, Soekemi Jatuh Cinta Pada Ayu Nyoman Rai
Laporan yang disampaikan tentu saja dilihat dari sudut pandangan bangsa Indonesia.
"Bangsa-bangsa di dunia yang berbahasa Inggris perlu mendengar tentang perjuangan kita. Mereka harus disadarkan bahkan ini bukan revolusi sosial dan pemerintahan kami bukan boneka Jepang," tulis Tantri.
"Kau harus bertugas mengisahkan sejarah negara kami, begitu pula perjuangan kami selama 40 tahun yang lalu. Kau harus mengingatkan bangsa Inggris dan Amerika pada pidato-pidato para negarawan mereka yang diucapkan semasa perang, yang menjanjikan kemerdekaan semua bangsa di seluruh dunia," tulis Tantri dalam otobiografinya.
Baca juga: Mengenal Pahlawan Nasional dari Jawa Timur, dari Bung Karno hingga HOS Tjokroaminoto
"Kemahirannya berpidato hanya bisa dikalahkan oleh Presiden Soekarno. Bagiku jelas, Bung Tomo sangat berbakti pada perjuangannya," ungkap Tantri saat bertemu dengan Bung Tomo.
Saat tak ada siaran, Tantri menghabiskan waktunya dengan melukis dan membuat spanduk untuk para pejuang. Ia mengutip sejarah Amerika dan Perancis untuk spanduk yang kemudian disebar ke semua kota dan desa di Jawa Timur.
Ia bertahan di Surabaya, sedangkan Bung Tomo melanjutkan siaran pidatonya dari Malang.
Baca juga: Berharap Makam Bung Karno Segera Dibuka, Pedagang Suvenir Pasang Bendera Merah Putih
K'tut dianggap berbahaya.
Melalui siaran berita, Belanda menjanjikan 50.000 gulden kepada orang Indonesia yang bisa menyerahkan K'tut Tantri ke markas besar tentara Belanda di Surabaya.
Sayembara tersebut dijawab sendiri oleh Tantri melalui siarannya di radio.
"Kalian tahu, uang gulden Belanda kini tidak laku lagi di Indonesia," kata dia.
"Kami sudah memiliki mata uang sendiri. Tetapi, jika Belanda mau menyumbangkan setengah juta rupiah pada bangsa Indonesia sebagai dana perjuangan kemerdekaan, saya bersedia datang sendiri ke markas besar kalian," tantang Tantri.
Baca juga: Cerita di Balik Pergantian Nama Kusno Jadi Soekarno