KOMPAS.com - Hartini tak bisa lepas dari sosok Sang Proklamor, Soekarno. Perempuan kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, ini tercatat sebagai istri keempat Bung Karno.
Di hari-hari terakhir kehidupan Bung Karno, Hartini banyak menghabiskan waktu merawat Sang Putra Fajar tersebut.
Dikutip dari Buku Bidadari-bidadari di Sekitar Bung Karno yang disusun oleh Rachmad Darsono, disebutkan bahwa Hartini adalah anak pasangan Osan Murawi dan Mairah.
Sang ayah bekerja di Dinas Kehutanan sehingga ia sering berpindah-pindah kota.
Lahir di Ponorogo, Hartini lulus sekolah dasar di Malang. Lalu ia diangkat keluarga Oesman di Bandung dan masuk ke Nijheidschool (Sekolah Kepandaian Putri).
Di usia belia, Hartini menikah dengan Suwondo dan pindah ke Salatiga.
Namun, pernikahan pertamanya tak berlangsung lama. Ia bercerai dengan Suwondo di usia 28 tahun dan memiliki 5 orang anak.
Kala itu Bung Karno melakukan perjalanan menuju Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada. Saat kembali ke Jakarta, Sukano menulis surat cinta pertamanya untuk Hartini.
"Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir."
Setahun kemudian, mereka kembali bertemu di peresmian teater terbuka Ramayana di Candi Prambanan. Melalui temannya, Bung Karno kemudian mengirimkan sepucuk surat untuk Hartini dengan nama samaran Srihana.
Baca juga: Mengenal Pahlawan Nasional dari Jawa Timur, dari Bung Karno hingga HOS Tjokroaminoto
Pada 15 Januari 1953, Bung Karno meminta izin Fatmawati, istrinya, untuk menikahi Hartini. Namun, Fatmawati menolak poligami.
Diceritakan, saat itu Hartini meminta Fatmawati untuk tetap menjadi ibu negara, sedangkan ia tetap menjadi istri kedua.
Akhirnya Bung Karno menikah dengan Hartini di Istana Cipanas pada 7 Juli 1953 dan tinggal cukup lama di sana. Saat itu Hartini berusia 29 tahun.
Sekitar tahun 1964, Hartini pindah ke salah satu paviliun di Istana Bogor.
Baca juga: Cerita di Balik Pergantian Nama Kusno Jadi Sukarno
Sejak saat itu, Hartini tampil secara terbuka di acara kewarganegaraan Bung Karno di Istana Bogor, antara lain menemui Ho Chi MInh, Sihanouk, Akihito, dan Michiko.
Pernikahan Hartini dan Bung Karno sempat mendapat kecaman dari organisasi perempuan Indonesia.
Gerakan perempuan yang dipelopori Perwari menentang keras perkawinan tersebut karena gerakan tersebut anti-poligami.
Gerakan perempuan yang dimotori Perwari telah mengangkat isu politik anti-poligami sejak tahun 1953.
Mereka juga sempat meminta dukungan kepada Bung Karno atas gerakan yang mereka jalani.
Baca juga: Kisah Asmara Orangtua Sukarno di Bali, Soekemi Jatuh Cinta Pada Ayu Nyoman Rai
Namun, Haryati tetap mempertahankan pernikahannya hingga akhir usia Bung Karno.
Bahkan, ia juga menjadi saksi lahirnya Supersemar pada tahun 1966. Pada 11 Maret 1971, Bung Karno datang ke Bogor dan berkata ke Hartini, "Tien, keadaan genting."
Setelah peristiwa Supersemar, jalan hidup dan karier politik Bung Karno berakhir.
Baca juga: 50 Tahun Wafatnya Bung Karno: Akhir Hidup dalam Kesepian
Setelah Soeharto dilantik menjadi presiden pada Maret 1967, Bung Karno menetap di paviliun Istana Bogor ditemani Hartini.
Keadaan berubah drastis saat Soeharto memerintahkan semua anak Bung Karno keluar dari Istana Negara.
Bung Karno pun mendapat perlakuan yang sama. Pada Desember 1967, ia diminta untuk keluar dari paviliun Istana Bogor.
Bersama Hartini, Bung Karno pindah ke sebuah rumah di daerah Batu Tulis, Bogor.
Baca juga: Punya Batuan Granit, Pengasingan Bung Karno, hingga Anggrek, Bangka Barat Disiapkan Jadi Geopark
Kondisi kesehatan Bung Karno memburuk.
Atas permintaan Bung Karno, Hartini mengirim surat kepada Presiden Soeharto dan memohon suaminya diizinkan pindah ke Jakarta agar dapat perawatan yang layak.
Saat itu, ginjal kiri Bung Karno sudah tak berfungsi sama sekali, dan fungsi ginjal kanan tinggal 25 persen.
Baca juga: Rachmawati dan Patung Pertama Bung Karno di Kota Blitar
Berbulan-bulan surat tersebut tak ada tanggapan. Hartini kembali mengirim surat kedua dan meminta Rachmawati untuk mengantarkan surat itu langsung ke Presiden Soeharto di Cendana.
Pada Februari 1969, Bung Karno dipindahkan ke Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala).
Kondisi Bung Karno semakin renta. Namun, Hartini tetap merawat Bung Karno dan mereka tinggal di Wisma Yaso hingga 1970.
Baca juga: Kisah Selembar Sapu Tangan Bung Karno, Konferensi Asia-Afrika dan Kemerdekaan Nigeria
Walaupun kodisinya menurun, Bung Karno menolak dibawa ke RSPAD. Namun, setelah dibujuk oleh Hartini, Bung Karno luluh.
Putra Sang Fajar itu pun dirawat selama beberapa hari di RSPAD.
Bung Karno pun mengembuskan napas terakhirnya pada 21 Juli 1970 di usia 69 tahun sekitar pukul 07.00 WIB. Saat meninggal, ia tetap ditemani oleh Hartini yang setia mendampingi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.