Parjan mengaku bekerja dengan keterbatasan memang penuh perjuangan.
Semangatnya dilatari harapan tidak menyerah demi penghidupan keluarga dan sekolah kedua anaknya, yakni Rizky Dwi Safitri (17) yang mondok di pesantren dan Riana Deni Safitri (15) di sekolah menengah Kokap. Kebutuhannya besar, kata Parjan.
Parjan bisa mengumpulkan rata-rata 20 liter nira bahan baku gula, setiap hari.
Dapur rumah produksi bisa menghasilkan gula 3-5 kilogram per hari dengan harga Rp 15.000 per kilogram.
Saat panen besar, Parjan dan Kamsih bisa meraup Rp 1.500.000 dalam satu bulan.
Tapi, kata Parjan, semua habis untuk biaya sekolah anak.
“Uang jajan (karena di pondok), uang baju sekolah, uang kitab. Palingan sisa Rp 500.000 untuk makan dalam satu bulan. Bahkan, LKS untuk 9 mata pelajaran belum dibayar, meski Rp 60.000,” kata Parjan.
Baca juga: Pernah Diteriaki Penonton, Ini Perjuangan Lia hingga Jadi Wasit Badminton Olimpiade Tokyo 2020
Itu belum termasuk kegiatan kemasyarakatan yang kerap mengeluarkan sumbangan, seperti hajatan, kegiatan gotong royong, lelayu, dan lainnya.
“Seperti hari ini, ya jadinya hanya masak nasi dan goreng tempe saja. Tidak apa prihatin. Ini untuk anak,” kata Kamsih, istri Parjan.
Buta mendadak
Semua terjadi di usia 35 tahun. Saat itu, anaknya yang kedua baru berusia delapan bulan.
Dokter memvonis Parjan akan mengalami kebutaan permanen. Pada usia 40, ia benar mengalami kebutaan permanen.
Vonis itu tentu membuat hati hancur. Namun, kasihnya pada Kamsih dan kedua anaknya begitu besar.
Ia memutuskan tetap bertahan untuk membesarkan kedua anaknya dengan kekuatannya sendiri meski penuh keterbatasan.
Baca juga: Mari Bantu Perjuangan Wisnu Penuhi Kebutuhan Warga Isoman
Parjan menyadari, hanya keahlian menderes nira yang tersisa. Sementara itu, keahlian sebagai tukang bangunan telah pupus sejak tak lagi bisa memelihat.
“Sejak itu pendapatan hilang setengah,” katanya.
Parjan semakin menekuni menderes.
Lantas, bagaimana Parjan mampu menaiki puluhan pohon itu? Ia mengaku mengandalkan ingatannya.