KOMPAS.com - Satpolair Polres Gresik mengamankan dua guci yang diduga peninggalan Dinasi Ming dari delapan nelayan yang menangkap ikan di Peraitan Pulau Bawean dengan cantrang.
Sayangnya dua guci tersebut dibawa S, warga Pulau Bawean dan hingga saat ini belum dikembalikan ke pihak kepolisian. Polisi telah membuat panggilan resmi kepada S untuk segera mengembalikan guci tersebut.
Pada guci tersebut terdapat gambar naga di bagian samping.
Disinyalir, guci tersebut ditemukan di perairan Pulau Bawean yang menjadi perlintasan jaluar kapal asal China dan Eropa pada abad ke-17 hingga ke-19.
Baca juga: Warga Tak Mau Serahkan Guci Diduga dari Dinasti Ming yang Ditemukan di Perairan Bawean
Ada dua kecamatan di Pulau Bawean yaitu Sangkapura dan Tambak.
Kata bawean sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ada sinar matahari.
Menurut legenda, sekitar tahun 1350 ada sekelompok pelaut dari kerajaan Majapahit terjebak badai di laut Jawa.
Baca juga: Cuaca Buruk dan Gelombang Lebih 2 Meter, Kapal Cepat Rute Gresik-Bawean Tak Berlayar
Hempasan ombak serta badai yang begitu kuat, membuat mereka terdampar di suatu pulau, tepat pada saat matahari terbit.
Pulau itu pun diberi nama Pulau Bawean. Dalam kitab Negarakertagama, Pulau Bawean disebut juga sebagai Pulau Buwun.
Sebelumnya banyak yang menganggap suku Bawean menggunakan bahasa Madura. Padahal suku tersebut berkomunikasi dengan bahasa Bawean asli.
Baca juga: Pulau Bawean, Wisata Tersembunyi di Kabupaten Gresik
Masyarakat Bawean dikenal sebagai bangsa perantau. Mereka bahkan merantau hingga ke Bandar Malaka untuk memperbaiki ekonomi mereka.
Pada abad ke-15 dan abad ke-16, Bandar Malaka menjadi pusat perdagangan.
Hingga kini, masyarakat Bawean tersebar di berbagai negara, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Australia, dan beberapa negara lainnya.
Baca juga: Sempat Tertunda, 222 Dosis Vaksin Akhirnya Dikirim ke Pulau Bawean