KOMPAS.com - Lokasi terpencil jadi salah satu tantangan pengembangan blok East Natuna, blok produksi migas yang terletak 225 km timur laut Pulau Natuna, Kepri.
Blok ini ditemukan pada tahun 1973 dan pada 2017 operator yang bertugas yakni Pertamina.
Kondisinya yang terletak di lokasi terpencil, serta berdekatan dengan perbatasan negara tetangga membuat blok migas ini memiliki aspek geopolitik jika akan dikembangkan.
Jarak dari blok migas ini ke pulau Sumatera juga jauh, mencapai 1.000 km. Padahal hasil CO2 pada blok migas ini bisa digunakan untuk lapangan-lapangan minyak di Sumatera.
Baca juga: 27 WN Vietnam yang Ditangkap Mencuri Ikan di Natuna Dideportasi
Menurut Hadi Ismoyo, Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia, tantangan lain dari pengembangan blok migas di Natuna adalah kandungan Co2-nya yang tinggi.
Untuk dua tantangan itu, IATMI memberikan saran agar pengembangan blok Natuna ini dilakukan secara bertahap. Yakni, dengan produksi minyak dulu, baru pengembangan ke gas, yakni membangun kawasan industri penyerap.
Menurut dia, kawasan industri bisa dibangun di Pulau Natuna dan difokuskan pada industri yang bisa menyerap dan menggunakan CO2 seperti pabrik penghasil naphta, kerosine dan diesel, serta pabrik DME (Dimethyl Ether).
Baca juga: Nelayan Natuna Protes, Makin Banyak Kapal Asing yang Memancing
“Pengembangan industri ini bisa dilakukan secara bertahap yang tentunya akan diikuti dengan pengembangan lapangan gas yang juga dilakukan secara bertahap,” kata Hadi, melalui rilis ke Kompas.com, Jumat (13/8/2021).
Saat ini blok Natuna mempunyai kandungan gas yang sangat besar, yakni sebesar 222 Tcf initial gas-in-place (IGIP) yang membuatnya menjadi ladang gas terbesar di Asia Tenggara.
Sayangnya, kandungan gas yang besar tersebut kandungan CO2-nya sangat tinggi, yakni lebih dari 70 persen.