MAGETAN, KOMPAS.com – Suaranya ramah Sugijanto menyambut saat Kompas.com berkunjung di rumahnya di KPR Taman Asri Kabupaten Magetan, Jawa Timur, Jumat (6/8/2021) sore.
Di usia yang ke-79, pensiunan anggota TNI AU yang pernah bertugas sebagai air gunner di pesawat Tupolev 16 Badger itu masih terlihat enerjik dan masih mengingat semua perjalanan dirinya selama bertugas.
Dia mengatakan, tak menyangka akan menjadi bagian dari skuadron 42 dan menjadi penembak udara pesawat tempur yang dijuluki pesawat siluman pada masanya tersebut.
“Awalnya tidak tahu kalau akan ditempatkan di Skudron 42. Saat itu saya tugas di Ambon,” kata Sugijanto, mengawali cerita.
Sugijanto nekat mendaftar sebagai tentara setelah melihat pengumuman yang tertempel di Gedung Bioskop Dedy di Kota Solo pada tahun 1959.
Saat itu, dirinya merupakan siswa kelas 2 sekolah kehakiman.
Selain karena kecintaan terhadap negara yang saat itu berjuang mempertahankan keutuhan wilayahnya dari rong-rongan pemberontak maupun sejumlah negara lain yang berusaha merebut wilayah Negara Kesatan Republik Indonesia, kesulitan untuk melanjutkan kuliah setelah lulus dari sekolah kehakiman membulatkan tekatnya mendaftar sebagai anggota TNI AU.
“Bingung bagaimana biaya kuliah setelah lulus,” imbuh dia.
Sugijanto lulus dengan pangkat kopral pelajar pada tahun 1961 setelah 3 tahun menekuni pendidikan sebagai siswa radio telegrafis di Lembang, Bandung.
Tugas sebagai radio telegrafis adalah mencari informasi dari lapangan kemudian merubah berita penting dari lapangan tersebut menjadi sandi morse yang sulit dipahami oleh musuh, yang kemudian dikirim ke pucuk pimpinan TNI AU.
“Saya lulus dari pendidikan setelah 3 tahun. Padahal, biasanya pendidikan militer TNI AU hanya butuh waktu 2 tahun,” kata dia.
Setelah dinyatakan lulus, Sugijanto mendapat penugasan di Ambon.
Pada saat itu, Indonesai menuntut pembubaran negara boneka buatan Belanda di Papua atau yang lebih terkenal dengan Operasi Trikora pada tahun 1961.
Keberadaan pos informasi di kota Ambon saat itu sangat vital karena menghubungkan informasi dari Papua ke pangkalan pusat.
Bahkan, untuk menjaga stasiun radio komandan perhubungan Kapten Peris Warisa membuat kantor di dalam gua di salah satu bukit di Ambon untuk menghindari serangan musuh.
Baca juga: Victor Yeimo, Otak Kerusuhan di Jayapura Segera Diadili
"Jangan ditanya panas dan sumpek, wong kantornya di dalam gua,” terang dia.
Jam pada waktu itu merupakan barang yang sangat penting untuk mengetahui waktunya mengirim informasi dari bagian wilayah Timur ke komando pusat melalui kode morse.
Meski bukan barang mewah, namun saat bertugas di Ambon Sugijanto mengaku butuh perjuangan untuk mendapatkan sebuah jam tangan karena hanya menerima gaji Rp 492.
“Jam termurah saat itu merek wingo seharga Rp 2.000. Saya harus menabung sampai 5 bulan,” ujar dia, sambil tertawa mengingat susahnya keadaan waktu itu.