Terlebih lagi, kata dia, lukisan di kanvas sudah lazim ditemui sehingga kemungkinan sukar untuk bersaing.
Ahmadi lantas mencari gagasan lain supaya karya lukisnya bisa lebih terlihat unik, menarik, dan berbeda.
Singkat kata, lantaran tak jauh dari rumahnya ia sering menjumpai batu-batu liar yang ada di pinggir sungai dan hutan kawasan perbukitan Kendeng Utara, saat itu kemudian tercetus ide untuk melukisnya.
Karena kegilaannya akan kisah pewayangan, Ahmadi pun lebih memilih membawa pulang batu-batu yang secara alami bercorak menyerupai figur tokoh-tokoh pewayangan.
Adapun setiap batu yang dilukisnya itu berbobot dan tingginya rata-rata sekitar 60 sentimeter.
Batu-batu pilihan yang rampung dilukis dengan warna dominan wayang tidak hanya sedap dipandang mata, namun juga memaksa sensasi kita menerjemahkan sosok wayang yang diciptakannya.
"Di tengah kebingungan itu saya coba menghibur diri berjalan di pinggir sungai dan hutan perbukitan kendeng. Di sanalah saya melihat banyak batu yang bentuknya serupa tokoh-tokoh pewayangan. Nah kemudian muncul ide menyempurnakan wujud wayang dari batu itu dengan melukisnya," ungkap Ahmadi, pecandu wayang itu.
Butuh kesabaran
Meski terlihat sepele, menurut Ahmadi, untuk mewarnai sebuah batu hingga membentuk satu karakteristik wayang bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan kesabaran, keahlian serta kecintaan akan dunia pewayangan.
Sebelum dilukis, batu-batu tersebut dicuci dengan air hingga bersih. Sementara untuk proses pewarnaan diawali dengan menutup permukaan batu dengan cat warna putih.
"Kuncinya cintai wayang dan melukis dengan hati. Setiap karakter wayang itu berbeda-beda bentuknya. Kita harus paham itu dulu. Untuk warna dominan wayang di antaranya yaitu putih, emas, hitam dan merah. Melukis batu, saya pilih menggunakan cat rumah yang berkualitas dan kriteria batu saya juga pilih yang berkualitas," jelas Ahmadi.