KOMPAS.com - Salah satu tradisi yang dilakukan masyarakat Jawa saat merayakan Tahun Baru Islam adalah membagikan bubur suro.
Awalnya, tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun ini dilakukan untuk memperingati hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro yang bertepatan dengan 1 Muharam.
Kalender Jawa yang diterbitkan Sultan Agung kala itu mengacu pada kalender Hijriah.
Baca juga: PPKM Level 4, Tidak Ada Tradisi Malam 1 Suro di Gunung Tidar Magelang
Dikutip dari Indonesia.go.id, pemerhati budaya Jawa, Arie Novan mengatakan, seperti sajian yang dihidangkan saat upacara adat Jawa lainnya, bubur Suro merupakan lambang rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas berkah dan rezeki yang diperoleh.
“Konon ini kan sudah ada sejak Sultan Agung bertahta di Jawa, terlepas dari apapun itu tentu bubur suro ini merupakan refleksi dari masyarakat Jawa atas berkah dan reziki yang di berikan Allah SWT kepada mereka,” ujarnya.
Bubur Suro terbuat dari beras yang dimasak dengan aneka bumbu dan rempah tradisional seperti santan, serai, dan daun salam sehingga rasanya lebih gurih dibandingkan bubur biasanya.
Baca juga: Begini Proses Pembersihan Keris pada Malam Satu Suro
Namun sebagian besar memiliki karakteristik yang sama, yakni disajikan bersama kuah santan kuning, tahu, orek tempe atau teri, telur, dan kacang-kacangan.
Menariknya, harus ada tujuh jenis kacang yang ada dalam sepiring bubur suro.
Selain tujuh jenis kacang, tak lupa suwiran jeruk Bali dan buah delima ditaburkan di atas sajian bubur untuk menambah rasa asam yang unik.
Tujuh jenis kacang yang terdiri dari kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacang mede, dan beberapa kacang lainnya melambangkan tujuh hari dalam satu minggu.
Baca juga: Resep Bubur Suro Khas Tahun Baru Islam, Disajikan Lengkap dengan Lauk
Selain itu menyantap bubur Suro bertabur tujuh jenis kacang merupakan doa agar selalu diberi berkah dan kelancaran dalam hidup setiap harinya.
Sementar sumber lain menyebutkan terciptanya bubur suro kala itu untuk memperingati hari di mana Nabi Nuh selamat setelah 40 hari mengarungi banjir besar yang melanda dunia saat itu.
Kisah tersebut tertera pada kitab kuno, di antaranya Nihayatuz Zain (Syekh Nawawi Banten), Nuzhalul Majelis (Syekh Abdul Rahman Al-Usfuri), dan Jam'ul Fawaid (Syekh Daud Fatani).
Cerita bermula pada saat itu Nabi Nuh sedang bertanya kepada para sahabat apakah masih ada makanan sisa di dalam kapal lalu sahabat menjawab "Masih ada ya nabi". Ia menyebutkan bahan makanan yang tersisa ada kacang poi, kacang adas, ba'ruz, tepung, dan kacang hinthon.
Baca juga: Filosofi Bubur Suro Khas Tahun Baru Islam, Tiap Lauknya Pun Bermakna
Bahan tersebut lalu dimasak bersamaan. Di sinilah cikal bakal terbentuknya santapan lezat tersebut.
Bubur Suro kini masih bisa dijumpai di beberapa wilayah Jawa Timur, salah satunya Madura, dan sebagian wilayah Jawa Tengah seperti Yogyakarta, Solo, hingga Semarang.
Selain disantap bersama keluarga dan kerabat terdekat, bubur Suro merupakan salah satu sajian yang sering dibagikan secara masal di masjid-masjid sebagai wujud sedekah dan berbagi rezeki kepada orang-orang yang membutuhkan.
“Sekarang tentu tidak hanya yang disebutkan tadi, Bubur Suro terkadang dibagikan masal di beberapa masjid di pulau Jawa. Jadi buka mistisnya saja yang orang awan tahu, tapi sekarang dibagikan berbagi rezeki kepada yang membutuhkan saya kira itu,” tutup Arie.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.