Nur tidak mau menyerah begitu saja. Dia tetap mengoperasikan usaha keluarga yang telah dirintis sejak tahun 1978 silam.
Meskipun dalam upayanya bertahan itu dia harus berutang, demi melayani pelanggan yang sesekali masih datang.
"Mau gimana lagi, pokoknya harus bisa bertahan," ujar dia.
Supingi, Pengawas Paguyuban Pengrajin Tahu Kampung Tahu Tinalan, mengatakan, saat pandemi penurunan produksi bisa mencapai 80 persen.
Bahkan, menurutnya tidak sedikit perajin yang tutup usaha. Terutama saat pemberlakuan PPKM darurat, ada yang sampai 3 minggu tidak menjalankan produksi.
Baca juga: Gubernur NTT Laporkan Pegiat Organisasi Antikorupsi ke Polisi
"Kemarin itu pas PPKM, seminggu kadang cuman laku 1 piece stik tahu yang harganya Rp 11.000," kata Supingi, yang juga mempunyai toko olahan tahu dengan nama Wijaya Kembar ini.
Sehingga sirkulasi uang di kampung itu, yang sebelumnya mencapai ratusan juta rupiah perbulan, kata Supingi, kini hanya kisaran belasan juta saja.
Supingi yang juga menjabat sebagai Ketua Koperasi Pengrajin Tahu dan Tempe Kota Kediri ini menambahkan, kondisi itu diperparah juga dengan kenaikan harga kedelai sebagai bahan baku utama.
Harga kedelai dari sebelum Pandemi Rp 7.200 sampai Rp 7.300, naik menjadi Rp 12.000. Meski kini menurutnya sudah turun di kisaran Rp 10.300 kedelai impor.
"Kalau kedelai lokal malah susah nyarinya," kata dia.
Para pengrajin tetap berusaha untuk bertahan. Caranya juga beraneka ragam.
Mulai dari hidup dengan menggunakan uang tabungan maupun ada yang terpaksa menjual aset.
"Ya terpaksa manset (makan aset) atau mantab (makan tabungan)," ujar dia sambil tersenyum.
Para perajin menurutnya masih sedikit tertolong dari penjualan tahu sayur. Yakni tahu putih untuk kebutuhan pasar rumah tangga. Meski itu juga tidak besar permintaannya.