Kemudian, karena merasa ada kejanggalan Suryadi pun menolak DP tersebut dan meminta dibayar lunas.
Penasihat hukum Suryadi, Yohanes Sugiwiyarno mengatakan, permasalahan tersebut bermula pada Mei 2020.
"Saat itu dia didatangi tetangganya, MD yang berniat membeli tanah Suryadi seluas sekitar 2.300 meter persegi. Suryadi minta per meter Rp 1 juta," jelasnya.
Baca juga: Melarikan Diri dari RS, Pasien Covid-19 di Bantul Ditemukan Tewas di Kolam Ikan
Setelah beberapa kali pertemuan, Suryadi bersedia melepas tanahnya dengan harga Rp 900.000 per meter.
"Alasan Suryadi karena menurut MD tanah itu akan digunakan untuk kepentingan umat melalui IPHI untuk dibangun gedung haji," jelas Yohanes.
Setelah itu, Suryadi didatangi MD diajak ke rumah pembeli yang juga merupakan tetangganya, berinisial S.
Sesampainya di rumah pembeli, Suryadi diperlihatkan uang Rp 50 juta untuk dijadikan tanda jadi.
"Namun itu yang diserahkan hanya Rp 30 juta, dan yang Rp 20 juta disimpan S, katanya untuk jaga-jaga kalau ada keperluan lain," ungkapnya.
Suryadi lalu diminta menandatangani kuitansi tanda jadi yang dibuat S. Namun ketika sudah ditandatangani, copy kuitansi itu tidak diberikan.
"Ternyata di kuintasi itu ada tambahan tulisan, kalau pembeli membatalkan maka uang tanda jadi hilang, namun kalau penjual yang membatalkan harus mengganti tiga hingga 10 kali lipat," paparnya.
Permasalahan mulai terjadi saat Agustus 2020. Saat ada Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan sudah jadi, ada kesalahan administrasi.
"Kemudian prosesnya diurus oleh MD, dan setelah sertifikat beres, Suryadi menanyakan mengenai kelanjutan proses jual beli tanahnya," jelas Yohanes.
Dalam prosesnya, Suryadi yang meminta harga jual Rp 900.000 per meter persegi, oleh MD dan S dianggap menjual Rp 900 juta untuk seluruh luasan tanah.
"Karena itu, Suryadi membatalkan perjanjian jual belinya. Dia juga berniat mengembalikan tanda jadi," ungkapnya.
Namun, S dan MD meminta pengembalian 10 kali uang tanda jadi yang telah diterima, yakni Rp 300 juta.