Mengenal konsep silvofishery
Ramli mengaku membuka tambak di kawasan delta sejak 2015 setelah berhenti dari perusahaan migas.
“Saya membeli lahan di sini. Lalu saya bikin tambak ikan, udang sampai sekarang,” tutur dia.
Tapi, tutupan hutan banyak hilang bikin ikan dan udang Ramli banyak mati karena panas matahari.
“Tidak ada tempat berlindung ikan dan udang. Begitu panas siang, banyak ikan mati. Jadi panennya juga enggak memuaskan waktu diawal-awal usaha,” kisah dia.
Baca juga: Perbedaan Pesut Sungai Mahakam dan Pesut Teluk Balikpapan, Keduanya Terancam Punah
Titik balik bagi Ramli terjadi pada 2018, ketika ditemui seorang penggiat lingkungan bernama Ahmad Nuriawan dari Yayasan Mangrove Lestari Delta Mahakam.
Dari pendiskusian keduanya, ditemukan akar masalah ikan milik Ramli sering mati akibat hutan mangrove yang gundul di sekitar tambak.
Karena air tambak yang terpapar sinar matahari langsung, bisa menaikkan kadar asam air atau pH. Hal itu membuat ikan tak bertahan hidup.
"Karena itu harus ditanam kembali (bakau) sebagai pelindung," ungkap Angga sapaan Ahmad Nuriawan.
Angga menjelaskan, fungsi mangrove bagi ekologi bisa membuat subur wilayah pesisir. Oleh sebab itu mangrove mampu menghasilkan nutrisi bagi penghuni air.
“Nutrisi itu jadi makanan plangton. Plangton jadi makanan utama ikan kecil, ikan kecil dimakan ikan sedang dan besar. Juga udang, kepiting, dan biota air lainnya.” terang dia.
"Itulah rantai makanan dalam air di kawasan pesisir. Kalau mangrove dihilangkan, sama halnya menghilangkan ikan, udang, kepiting dan biota pesisir lainnya," sambung dia.
Baca juga: Cerita Mamalia Langka Penghuni Sungai Mahakam yang Terancam Punah karena Industri
Angga kemudian memperkenalkan konsep silvofishery kepada Ramli. Sistem pertambakan dengan menggabungkan budidaya perikanan dengan penanaman mangrove.
Setelah dua tahun diterapkan, hasil panen Ramli semakin baik.
Ukuran ikan dan udang kini lebih besar dari sebelumnya. Hasil panen juga semakin banyak. Kepiting yang sebelumnya jarang ada, kini makin banyak.