Gabriella Sandranila (33), dokter pendiri gerakan Dokter Tanpa Stigma, mengatakan kejadian seperti yang dialami Nina dan Nada, kerap dialami perempuan berstatus lajang, saat hendak memeriksakan kesehatan reproduksi.
Stigma juga kerap disematkan beberapa tenaga kesehatan pada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, remaja yang mengalami kehamilan tak direncanakan, hingga Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), katanya.
Ia membeberkan penyebabnya.
Baca juga: Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan Cegah Kematian Ibu
"Pertama, kurikulum kita [kedokteran] memang tidak ada perspekif gendernya sampai sekarang. Dari dari zaman dulu saya masuk angkatan 2005, sampai sekarang, kurikulum masih sama aja, masih tidak ada perspektif gender," ujar Gabriella yang menyelesaikan pendidikan kedokterannya di Universitas Airlangga, Surabaya.
Alasan lain, ujarnya, adalah karena faktor keyakinan sejumlah staf medis.
"Yang kedua karena itu keyakinan agamanya sangat kuat dan sangat kental sekali di dalam kehidupan sehari-hari individunya.
"Sulitnya tenaga-tenaga medis banyak yang tidak memisahkan itu," katanya.
Baca juga: Tips Pulihkan Organ Reproduksi dan Kesuburan dari Dalam Rumah
Akibatnya, mereka bisa saja mencari jawaban atas keluhan kesehatan mereka di tempat yang tidak seharusnya, seperti di internet, atau tempat alternatif lainnya.
Di Indonesia sendiri, menurut data Kementerian Kesehatan, capaian program pendeteksian dini nasional masih berada di 12,5%. Angka itu jauh di bawah target 50% dari yang dibuat pemerintah.
Gabriella mengaku, dulu juga kerap menghakimi pasien, suatu sikap yang kemudian berubah setelah ia secara mandiri belajar soal feminisme dan gender.
Baca juga: Seorang Ibu Melahirkan Tanpa Merasa Hamil, Dinkes Cianjur Sebut Pentingnya Kesehatan Reproduksi
Itulah alasan dia membuat gerakan Dokter Tanpa Stigma tahun 2019, yang hingga kini aktif berkampanye di media sosial.
"Akhirnya saya berpikir, apa yang bisa saya lakukan untuk menjembatani antara tenaga medis sama masyarakat atau pasien.
"Karena hal-hal seperti ini, tindakan-tindakan stigmatis diskriminatif atau yang tidak mengenakkan itu biasanya hanya dari pasien-pasien aja. Mereka biasanya kan cuma mengeluh, tapi dari tenaga medisnya silent, kayak nggak terjadi apa-apa," ujarnya.
Gerakan yang diasuhnya, selama pandemi banyak mengadakan kegiatan diskusi atau webinar, yang mengajak pihak perwakilan masyarakat, termasuk yang oleh Gabriella disebut sebagai kelompok yang sering "dimarginalkan", dan kalangan dokter.
Mereka bersama-sama membahas topik yang sering dianggap tabu, seperti menstruasi hingga hak kesehatan seksual.
Baca juga: Reproduksi: Pengertian, Tujuan, dan Jenisnya
Hal senada diutarakan Putri Widi Saraswati, dokter yang juga peneliti kesehatan reproduksi.
Bias gender di kalangan staf medis, yang disebutnya dibentuk oleh masyarakat, perlu dikikis mulai dari pendidikan.
"Cara berpikir, cara memandang, lensa yang dipakai itu sudah dibentuk dari pendidikan. Jadi yang diubah memang harusnya dari sistem pendidikan lebih dulu dan dunia kerjanya.
"Bagaimana caranya kita menyadari dan memutus bias-bias itu," kata Putri.
Baca juga: Ahli: Jangan Anggap Tabu Pendidikan Seksual dan Kesehatan Reproduksi