KOMPAS.com - Total rumah tangga di Indonesia yang menikmati listrik diklaim pemerintah sudah mencapai 99,28%. Namun data ini dikritik karena hanya menghitung kemampuan rumah tangga menyalakan lampu.
Rasio elektrifikasi semestinya menyorot penggunaan listrik selain untuk penerangan dan mengukur seberapa jauh listrik menggenjot perekonomian warga, kata pegiat energi.
Menurut data pemerintah, setidaknya ada 500 ribu rumah tangga di Indonesia belum memiliki akses listrik hingga Mei 2021. Mayoritas mereka tinggal di desa terpencil atau terluar.
Nusa Tenggara Timur adalah provinsi dengan rasio elektrifikasi terendah. Sejumlah pembangkit berbasis energi bersih belakangan dibangun di wilayah itu untuk mengatasi ketiadaan listrik.
Baca juga: Kronologi 4 Anak Tersetrum Saat Ambil Layangan di Pohon, Bambunya Patah dan Terkena Kabel Listrik
Warga dua pulau kecil di Labuan Bajo, Manggarai Barat, misalnya, tersambung listrik yang dipanen dari energi matahari sejak 2019.
Pertanyaannya, dapatkah energi bersih dan terbarukan menjadi solusi kunci pemerataan akses listrik untuk setiap warga Indonesia?
Pulau Papagarang dan Pulau Messa berada di gugus kepulauan Labuan Bajo, lokasi yang dipoles pemerintah pusat sebagai destinasi 'super premium'.
Sepanjang malam sebelum tahun 2019, permukiman warga di dua pulau ini nyaris selalu gelap gulita.
Baca juga: Sinyal Indonesia Akhirnya Berjaya di Perbatasan Timor Leste
Pada tahun-tahun sebelumnya, pulau para nelayan tradisional ini sama sekali tidak memiliki akses listrik.
"Dulu saat bulan gelap, kondisinya sangat mencekam. Gelap gulita seperti tidak ada kehidupan. Kami tidak bisa beraktivitas sama sekali," ujar Rosman, warga Pulau Messa.
Baca juga: Terkendala Sinyal Internet, SD di Gunungkidul Ini Masuk seperti Biasa
Rosman lahir tahun 1978. Saat beranjak remaja, dia melihat sejumlah tetangganya mulai memasang satu atau dua lampu. Listriknya berasal dari warga yang memiliki genset.
Setiap rumah yang ingin tersambung listrik, kata dia, mesti membayar iuran rutin sebesar Rp 7.500. Rumah Rosman waktu itu tetap gelap sepanjang malam. Orangtuanya tak punya cukup uang.
"Hanya orang-orang tertentu yang bisa bayar. Kebanyakan keluarga di sini dulu tergolong tidak mampu," ucapnya.
"Kalaupun saat itu banyak keluarga sanggup membayar, jumlah genset terbatas, tidak bisa mengaliri listrik ke semua rumah," kata Rosman.
Baca juga: Listrik Sempat Padam, Ganjar Pastikan Produksi Oksigen Samator Kendal Kembali Beroperasi