Saat itu seorang agen PMI datang ke rumah dan menawarkan pekerjaan di Malaysia sebagai asisten rumah tangga.
Agen itu menjanjikan satu bulan ia mendapatkan gaji sekitar 1.110 ringgit atau sekitar Rp 3,8 juta.
Mendapatkan tawaran itu, Sulikah menyetujuinya. Seluruh dokumen diurus agen.
Bahkan ia mengakali tahun kelahirannya. Sesuai kartu tanda penduduk (KTP), Sulikah lahir pada 1999, tetapi di paspor tertulis 1997.
Setelah dokumen lengkap, Sulikah diberangkatkan dari Bandara Yogyakarta. Setibanya di Malaysia, Sulikah dijemput agen yang berada di negara tersebut.
Semalam menginap di penampungan, pagi harinya Sulikah diantar ke rumah majikan. Sulikah tidak mengetahui pasti alamat tinggal majikannya tersebut. Ia hanya mengingat rumah majikannya berada di Jalan Ipoh.
Baca juga: Lukas Enembe Minta Masyarakat Tak Terprovokasi dengan Polemik Plh Gubernur Papua
Sulikah pun juga tidak mengetahui nama majikannya. Perempuan itu hanya mengingat wajah keras majikan perempuannya yang sering marah dan memukulnya.
”Saya tidak tahu namanya. Kalau majikan perempuan saya panggil madam dan laki-laki panggil bos. Kalau tiga anaknya itu saya panggil koko, cece, dan baby,’’ ungkap Sulikah.
Sulikah tak membawa sepeser uang saat tiba di tanah air. Beruntung, setiba di Surabaya, dua PMI memberinya uang masing-masing Rp 50.000.
Ia berharap kekurangan gaji segera dibayar majikannya. Pasalnya saat di Malaysia, polisi yang menangani kasusnya berjanji mengurus gajinya yang belum dibayar majikannya.
Sulikah kini tinggal bersama ayah, kakek, dan nenek serta anaknya yang berusia tiga tiga tahun. Ia tidak bisa berbuat banyak dan kesulitan mencari pekerjaan karena hanya lulusan SD.
Padahal Sulikah memiiliki tanggung jawab membesarkan anaknya yang baru berusia tiga tahun. Pasalnya, Sulikah harus menghidupi anaknya sendiri setelah suaminya pergi meninggalkan diri dirinya usai melahirkan.