Salah satu temuan terbaru adalah sebuah yoni, yang ditemukan di sebuah ladang beberapa waktu lalu. Bidang ladang seluas 20x20 meter ini cukup unik karena menyembul ke atas sekitar dua meter dari permukaan tanah sekitarnya.
Sebidang ladang tersebut oleh warga sekitar disebut dengan puthuk. Banyak yang meyakininya sebagai bangunan candi. Apalagi banyak ditemukan bata-bata kuno di sekitarnya.
Keberadaan puthuk tersebut bukan satu-satunya yang ada di desa tersebut. Masih ada puthuk lain yang tersebar di beberapa titik.
Terhadap banyaknya struktur bata, pemerintah desa sebenarnya sudah meminta bantuan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur agar mengekskavasi puthuk tersebut.
Namun hingga dua kali surat dikirim sejak 2017, belum ada respons dari BPCB.
Baca juga: Langsung Terbang ke Solo Menjemput Istrinya, Khairuddin: Sekarang Saya Sudah Sama Istri...
"Kami berharap supaya segera ada ekskavasi untuk penyelamatan dan pelestarian peninggalan nenek moyang kami," ujar Samsudin.
Setelah lumayan banyak benda purbakala terkumpul, Samsudin mengaku malah bingung sendiri. Sebab, sumberdaya yang ada di desa, belum ada yang berkemampuan mengurus benda purbakala.
Samsudin lantas berkoordinasi dengan jejaring yang ia punya, termasuk menggandeng komunitas Pelestari Sejarah Budaya Kadhiri (PASAK). Dengan harapan, selain bantuan menggali informasi sejarah Desa Bogem juga transformasi ilmu pengurusan benda purbakala.
Gayung bersambut. Dari penelusuran dan penggalian informasi PASAK, Desa Bogem termasuk desa tua. Keberadaannya sudah ada sejak dulu kala, bahkan sejak era kerajaan.
Bogem sendiri berarti bokor atau tempat seperti mangkuk untuk menyimpan perhiasan emas. Konon di desa ini dulu banyak terdapat emas hingga kerap menjadi obyek perburuan pencuri benda bersejarah.