Ferdi menuturkan, Yayasan Peduli Timor Barat dengan perwakilan pengacara terkemuka Inggris, Monica Feria-Tinta, menulis dan melaporkan kepada enam pelapor Khusus PBB dan kelompok kerja tentang masalah hak asasi manusia dan perusahaan transnasional serta bisnis dan perusahaan lainnya pada November 2019.
Kemudian pada Maret 2021, pelapor khusus PBB menanggapi, sehingga PBB menulis kepada pemerintah Australia, Indonesia, Thailand, dan perusahaan yang terlibat PTTEP.
"Baik pemerintah maupun Perusahaan PTTEP telah menjawab surat dari PBB itu pada tanggal 10 Mei 2021 yang lalu, namun PBB belum mengunggah informasi tersebut ke publik," ungkap Ferdi.
Baca juga: Warga NTT dan Australia Gelar Pertemuan Bahas Kasus Minyak Montara
Menurut Ferdi, di dalam halaman sembilan dari surat Monica Feria-Tinta menyebut, berdasarkan data dari Pusat Energi dan Lingkungan Indonesia memperkirakan kerugian ekonomi industri perikanan dan pembudidaya rumput laut di NTT mencapai sekitar 1,5 miliar dollar Australia per tahun sejak tahun 2009.
"Karena itu, jika dihitung hingga tahun 2021, maka setidaknya 15 miliar dolar Australia atau sekitar Rp 164 triliun lebih," ungkap Ferdi.
Ferdi mengatakan, PBB telah menyerukan kepada Pemerintah Australia, Thailand dan PTTEP untuk membayar kompensasi penuh tanpa dikurangi kepada rakyat NTT yang terdampak.
"Ini bukan sebuah permainan yang bisa dimainkan dengan banyaknya penyakit hingga membawa kematian. Karena sudah 12 tahun lamanya lebih dari 100.000 rakyat Nusa Tenggara Timur menderita dan terus menderita," tegas Ferdi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.