Kepala Disdik Jabar Dedi Sopandi mengatakan, berbagai keluhan tersebut menjadi bahan evaluasi pihaknya.
Pertama, ia menyetujui penggunaan ranking dalam rumus kalibrasi tidak sejalan dengan Kurikulum 2013. Namun ia tidak memiliki pilihan karena peraturan menterinya sudah seperti itu.
"Karena itu, bila tidak ada UN (ujian nasional) sebaiknya kembalikan kebijakan ke lokal provinsi," ungkap Dedi.
Dedi mengatakan di awal pendaftaran muncul angka-angka di luar batas kewajaran akibat beda pemahaman di operator SMP. Sebab mau tak mau harus diakui, pandemi membuat kebijakan kurang tersosialisasikan.
Untuk itu pihaknya memberlakukan verifikasi. Nilai yang di atas ambang kewajaran diperbaiki. Bila tidak diperbaiki diberlakukan diskualifikasi.
Kemudian setelah pengumuman, ada yang protes nilai lebih rendah mengalahkan nilai yang tinggi dengan menampilkan foto.
Persoalannya, foto tersebut diambil saat pendaftaran sebelum data yang masuk diverifikasi. Sebab secara sistem tidak mungkin nilai lebih besar tersingkir bila itu satu jalur.
Ia mengingatkan, jalur prestasi dibagi dua, prestasi akademik dan non akademik seperti kejuaraan. Bila nilai yang besar tersalip oleh yang kecil, lihat dulu dari jalur mana.
"Misal, jalur prestasi akademik nilainya 610 tidak diterima, tapi yang 585 keterima. Ternyata yang 585 ini jalur prestasi non akademik. Lihat dulu jalur mana-mananya," ungkapnya.
Ia juga melihat ada egoisme sektoral, lulusan SMP tertentu harus keterima di sekolah tertentu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.