KOMPAS.com - Ratusan anak muda lintas agama dari berbagai daerah di Indonesia mengikuti program Peace Train Indonesia atau Kereta Perdamaian guna mengalami langsung bertoleransi yang nyata.
Lima tahun silam, ketika Pemilihan Gubernur DKI Jakarta diwarnai isu agama yang menyebabkan perpecahan luar biasa di masyarakat, pendeta Frangky Tampubolon merasa gelisah.
Saat itu, Frangky — pegiat lintas iman dan kebinekaan — menyaksikan apa yang disebutnya sebagai kebencian tak berujung dari dua kutub yang saling bermusuhan.
Baca juga: Dosen UMM Wakili Indonesia di Program Toleransi Internasional
"Kenapa agama dibuat menjadi kekuatan menghancurkan?" ujar Frangky kepada BBC News Indonesia, awal Juni lalu.
"Saya enggak tahan, saya pun termasuk yang mengalami stress tinggi saat itu."
Dia khawatir polarisasi berlatar masalah politik ini tidak menyehatkan bagi upaya jangka panjang dalam penguatan kerukunan beragama dan perdamaian di Indonesia.
"Enggak ada ujungnya, dan penuh pikiran-pikiran sarkastik, menghujat. Nah, kalau kita ada di situ, akan semakin buruk," tambah pendeta kelahiran 1977 ini.
Baca juga: Festival Budaya Kalbis Institute: Toleransi Menjadi Kunci Persatuan
"Intinya, kita tidak mau masuk dalam sebuah kutub antara pro-ini dan kontra-ini, sehingga orang punya kesadaran untuk membuat ruang jumpa baru yang tidak harus saling membenci," jelas Frangky.
Dalam percakapan dengan tiga pegiat lintas iman — Anick HT, Ahmad Nurcholish dan Destya Nawriz — lahirlah ide menggabungkan perjalanan berkeretaapi dan menguatkan kembali kerukunan beragama dan perdamaian.
"Lalu muncullah ide traveling dan menggunakan moda kereta api," kata Ahmad Nurcholish, salah-seorang inisiatornya. "Karena antar peserta bisa berinteraksi di dalam kereta."
Baca juga: Menilik Kembali 10 Kota di Indonesia yang Punya Nilai Toleransi Tertinggi
Peace Train Indonesia atau Kereta Api Perdamaian Indonesia, nama program itu, melibatkan anak-anak muda dari berbagai wilayah di Indonesia dengan latar agama berbeda.
Dalam program ini, Nurcholish dkk menginginkan agar para peserta dapat mengenalkan identitas masing-masing serta membagikan ajaran dan keunikan agamanya masing-masing.
"Jadi, selain ada ruang perjumpaan, ada dialog terbuka antar peserta dan orang-orang yang terlibat di kota tujuan," paparnya kepada BBC News Indonesia, pekan ketiga bulan lalu
Tujuan semua itu, lanjutnya, agar masing-masing dapat mengenali lebih mendalam. Hal itu dia tekankan karena sebagian masyarakat masih memiliki prasangka terhadap agama lain.
Baca juga: Merawat Toleransi di Hari Raya Kenaikan Isa Almasih dan Idul Fitri
"Ini bisa terjadi, karena tidak ada ruang perjumpaan sehingga tidak ada dialog untuk mengenal lebih mendalam dan lebih dekat," ujar Nurcholish.
Program Peace Train Indonesia awal mula digelar pada 2017 di kota Semarang, dan terakhir kali — yaitu ke-12 — dilangsungkan di kota Salatiga, pertengahan Maret 2021 lalu.
Anak-anak muda itu selama dua hari tiga malam tinggal bersama. Di kota tujuan, mereka berdialog, bertemu tokoh agama, serta mendatangi tempat-tempat ibadah — terkadang menginap di sana.
Baca juga: Indahnya Toleransi, Pemuda Kristen di Ambon Ikut Amankan Shalat Id
Dalam program itu, ada sesi diskusi yang membicarakan tema umum, namun tema-tema tertentu biasanya dibahas secara informal.
"Sehingga kami memberikan ruang yang agak luas bagi peserta untuk bisa berinteraksi secara personal. Sebisa mungkin memberi ruang informal, supaya kedekatan dan pertemanan mereka, terbangun.
"Pertanyaan-pertanyaan yang selama ini enggan untuk ditanyakan itu tidak akan terjadi. Mereka bebas untuk menanyakan itu, karena sudah dekat, sudah akrab," papar Nurcholish.
Mereka mendorong agar peserta, selain lantaran inisiatif sendiri, untuk menggelar acara serupa di daerahnya masing-masing.
"Ini untuk menjaga, karena bagaimanapun pemberitaan di seputar mereka itu tidak bisa kita pungkiri," kata Nurcholis
Dia kemudian memberikan contoh, ketika mereka pulang dari mengikuti Peace Train, ada kejadian bom bunuh diri di Makassar.
Baca juga: Bupati Garut Segel Pembangunan Masjid Ahmadiyah, YLBHI: Cederai Nilai Toleransi
"Saya bisa membayangkan bagaimana umat Katolik dan Kristen."
Namun demikian, Nurcholish terus menyimak pertemuan para alumni melalui daring dan pertemuan-pertemuan lanjutan.
"Nah di diskusi-diskusi informal itulah, dari yang saya simak, mereka bisa bersikap obyektif."
Dia kemudian menggarisbawahi bahwa program Peace Train sebagai program pembuka dan bukan "tujuan akhir".
Baca juga: Jadi Simbol Toleransi, Begini Keindahan Masjid Maria Bunda Yesus
"Ini pintu pertama, yang selanjutnya mereka harus meningkatkan melalui program yang lebih konkret," tambahnya.
Sementara, pendeta Frangky mengatakan pihaknya mendorong agar organisasi yang bergerak di lintas iman melibatkan para alumni PTI.
"Untuk menumbuhkembangkan mereka dalam ekosistem interfaith."
Mereka juga mempersiapkan program 'baru' yaitu sekolah kader perdamaian. "Mudah-mudahan bulan Juni ini terealisasi," kata pendeta.
Dan seperti apa perubahan cara berpikir para peserta sebelum dan setelah mengikuti acara ini? Berikut kesaksian enam orang alumni peserta program ini:
Baca juga: Grebeg Ramadhan, Pemberdayaan Ekonomi Berbalut Toleransi di Salatiga
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.