Berdasarkan data JATAM, sekitar 44% daratan Indonesia telah diberikan untuk sekitar 8.588 izin usaha tambang.
Jumlah itu seluas 93,36 juta hektare atau sekitar empat kali lipat dari luas Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
Akibatnya, kata koordinator JATAM Merah Johansyah, "Di mana ada tambang, di situ ada penderitaan warga. Di mana ada tambang, di situ ada kerusakan lingkungan. Tidak akan pernah bisa berdampingan."
Baca juga: Ada Kekerasan Saat Demo Penolakan Tambang, Kapolres Purworejo Dilaporkan ke Polda Jateng
Merah menjelaskan, penderitaan masyarakat muncul karena pengurus negara telah gagal memastikan hak masyarakat mendapatkan informasi ketika tambang beroperasi, ditambah terjadinya "kongkalikong" demi kepentingan ekonomi dan politik.
Negara juga kata Merah tidak memberikan ruang veto bagi masyarakat untuk menolak tambang yang diputuskan sepihak dari atas ke bawah.
"Terjadilah konflik dari ujung barat hingga timur Indonesia di wilayah pertambangan karena warga tidak dilibatkan," katanya.
Baca juga: Diduga Mencuri, 17 Pekerja Perusahaan Tambang yang Dipimpin Aryo Djojohadikusumo Diamankan
"Di Sulawesi Selatan, masyarakat yang merobek uang suap dari perusahaan dipenjara. Di Banyuwangi, warga yang menolak dicap PKI. Di Wadas, anak-anak muda yang menolak dicap anarko," katanya.
Berdasarkan catatan akhir tahun 2020 JATAM, terjadi 45 konflik pertambangan, yaitu 22 kasus pencemaran dan perusakan lingkungan, 13 kasus perampasan lahan, delapan kasus kriminalisasi warga yang menolak tambang (korban kriminalisasi 69 orang), dan dua kasus pemutusan hubungan kerja.
Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2019 dengan 11 konflik. Sehingga, total konflik tambang yang muncul di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo sejak 2014 adalah 116 kasus.
Lantas apa solusinya? Sederhana, kata Merah, yaitu moratorium perizinan dan melakukan evaluasi atas izin yang telah diberikan.
Baca juga: Bupati Lebak soal Hutan Sakral Baduy Dirusak Tambang Emas: Ini Ketidakberhasilan Saya
"Tahu tidak, hampir semua barang yang kita pegang berasal dari tambang. Dari telepon, komputer, mobil, pesawat, dan lainnya. Jadi yang mengatakan tidak bisa [berdampingan], hemat saya mereka harus melihat secara utuh," kata Ridwan.
Ridwan pun membantah jika kegiatan pertambangan tidak memperhatikan kepentingan lingkungan dan masyarakat.
"Bumi kita ini cuma satu, mau pecinta lingkungan, mau ahli geologi seperti saya hidup di bumi yang sama, pastilah kita ingin menjaga bumi ini baik-baik," kata Ridwan.
Baca juga: Cerita Warga Penolak Tambang di Purworejo Saat Bentrok dengan Aparat
Menurutnya akan terlalu naif untuk berharap agar pertambangan tidak mengubah lingkungan.
"Yang kita pertahankan itu fungsi ekologisnya, selama tidak rusak masalahnya apa? Jangan sampai karena adanya patahan seperti di Dairi atau pulau kecil di Sangihe, kita jadi tidak bisa memanfaatkan kekayaan yang ada," katanya.
Pemerintah, kata Ridwan, terus melakukan perbaikan dengan membuat regulasi yang berpihak pada lingkungan, dan melakukan pembenahan terhadap pertambangan tanpa izin.
"Bahkan bisa dikenakan pidana jika [perusahaan tambang] tidak melakukan sesuai ketentuan," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.