BANYUWANGI, KOMPAS.com - Bencana tsunami sempat menghantam daerah di pesisir selatan Jawa, termasuk Banyuwangi, Jawa Timur, pada 1994 lalu. Ratusan orang dinyatakan tewas dalam peristiwa itu.
Berdasarkan kajian Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), kini potensi gempa bumi besar yang dapat memicu gelombang tsunami di wilayah selatan Jawa Timur kembali muncul.
Terkait hal tersebut, masyarakat pesisir selatan Banyuwangi terus mendapatkan sosialisasi mitigasi bencana tsunami.
Baca juga: Hanya Tersedia 16 Menit untuk Menyelamatkan Diri jika Tsunami Mengempas Pantai Selatan Blitar
Selain memanfaatkan teknologi, masyarakat di pesisir selatan Banyuwangi rupanya memiliki kearifan lokal sebagai langkah untuk mitigasi bencana tsunami.
Di Desa Sarongan, Banyuwangi, masyarakat setempat mempunyai kearifan lokal soal tanda-tanda terjadinya tsunami, selain adanya gempa besar.
Tanda tersebut berdasarkan pengalaman wilayah desa ini yang sempat dihantam tsunami pada 1994 lalu.
Ketua Desa Tangguh Bencana (Destana) Sarongan Agus Salim Afandi mengatakan ada dua peristiwa janggal yang menjadi tanda jika akan terjadi tsunami.
Pertama, yakni ikan-ikan terlihat menepi ke area pantai. Fenomena ikan minggir ini dipercaya karena di dalam laut sedang terjadi peristiwa tak biasa.
"Kalau tsunami itu, ikan minggir. Mereka tahu, kok terjadi ikan minggir ini kan terjadi sesuatu, warga pasti curiga," katanya saat dihubungi, Kamis (10/6/2021).
Baca juga: Agar Potensi Tsunami Selatan Jatim Tak Berdampak Parah, BMKG: Jangan Potong dan Gali Bukit
"Ini asinnya menyengat sekali kalau terjadi tsunami. Ini orang dulu (yang mengalami tsunami) yang bilang begitu," kata dia.
Ia menambahkan, warga Desa Sarongan sudah terbiasa dan tahu apa yang dilakukan jika terjadi tsunami.
Salah satunya jika terjadi gempa besar, mereka sudah pasti mencari tempat tinggi untuk evakuasi diri.
Warga juga sudah terbiasa dengan mitigasi skema 20-20-20.
Baca juga: Potensi Tsunami di Laut Selatan Jatim, Pakar Geologi ITS Minta Pemerintah Sosialisasi Rumus 20-20-20
Skema ini adalah pedoman mitigasi bencana bagi masyarakat awam, terutama yang tinggal di kawasan pesisir pantai.
Skema tersebut menjelaskan jika masyarakat merasakan guncangan selama 20 detik, maka setelah itu harus mengevakuasi diri.
Sebab, dalam 20 menit potensi tsunami akan terjadi. Selanjutnya, masyarakat diimbau lari menjauhi pantai menuju tempat yang lebih tinggi, dengan ketinggian minimal 20 meter.
"Kita sudah persiapkan daerah 20 meter ke atas, ini agar masyarakat aman. Kita sudah memberi angan-angan ke masyarakat, hingga pengenalan tanda-tanda," kata dia.
Baca juga: Perkuat Kesiapan Hadapi Potensi Tsunami, Kepala BMKG Kunjungi Blitar, Ini yang Dibahas
"Dulu tak tahu, sekarang sekali ada gempa meski tak kuat, sudah lari. Jika sirine bunyi langsung lari," katanya.
Latihan mitigasi semcaam ini selalu dilakukan 2 hingga 3 kali dalam setahun. Hal ini untuk mempertajam insting warga jika ada tanda-tanda tsunami.
Ia menjelaskan, Destana merupakan desa tangguh bencana yang dibentuk BPBD. Destana beranggotakan 35 orang yang bertugas memberikan sosialiasi bencana.
"Ruhnya kami di sosialisasi, minimal 2-3 kali dalam setahun mitigasi bencana," katanya.
Baca juga: Antisipasi Tsunami 29 Meter di Wonogiri, BPBD Siapkan Jalur Evakuasi dan Pengungsian
Untuk diketahui, sebanyak 60 warga Desa Sarongan menjadi korban tsunami pada 1994 lalu. Dari jumlah itu, 43 orang dinyatakan hilang.
Kasi Pencegahan Bencana BPBD Banyuwangi, Yusuf Arif mengatakan ada 6 desa di pesisir pantai selatan Banyuwangi yang membentuk Destana.
Di antaranya Desa Sumberagung, Desa Pesanggaran, Sarongan, Grajagan, Muncar, dan Kedungringin.
"Di desa-desa tersebut sudah dilengkapi rambu dan jalur evakuasi ketika sewaktu-waktu bencana datang," katanya di Kantor BPBD Banyuwangi, pekan lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.