MALANG, KOMPAS.com - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, dugaan kasus kekerasan di SMA SPI Kota Batu diketahui beberapa pengelola sekolah tersebut.
Karena itu, Arist mengatakan, ada terduga pelaku lain selain JE yang menjadi terlapor dalam kasus itu. JE merupakan pendiri sekolah tersebut. Sedangkan terduga pelaku lain itu merupakan pengelola.
"Tadi malam ada tambahan informasi bahwa dimungkinkan bukan saja JE terduga pelakunya, tetapi disinyalir ada yang perlu diperiksa secara baik, secara profesional bahwa terlibat juga. Paling tidak terlibatnya mengetahui," kata Arist di Mapolres Batu, Rabu (9/6/2021).
Menurutnya, lebih dari dua pengelola yang mengetahui terjadinya kekerasan itu.
Namun, Arist tidak mengungkap identitas terduga pelaku lain tersebut. Arist akan menyampaikan perihal dugaan pelaku lain itu kepada polisi.
"Itu dari keterangan korban, jadi bukan hasil investigasi kita. Tapi keterangan korban yang disampaikan kepada saya, itu akan kami sampaikan kepada penyidik di Polda Jatim untuk memperkuat dari laporan itu," katanya.
Baca juga: Pemkot Surabaya Belum Izinkan Warkop Beroperasi 24 Jam, Ini Alasannya
Sementara itu, korban melaporkan JE dengan tiga kasus kekerasan sekaligus, yakni kekerasan seksual, fisik, dan eksploitasi ekonomi.
Untuk kekerasan seksual, Arist mengatakan, korban diperkosa berulang kali oleh terlapor dengan terencana.
Hal itu dilakukan melalui ancaman, bujuk rayu, dan janji, dengan memanfaatkan kondisi perekonomian keluarga korban yang miskin.
Adapun untuk eksploitasi ekonomi, korban dipekerjakan, bahkan terkadang mengabaikan kewajibannya untuk bersekolah.
"Eksploitasi ekonomi, dipekerjakan, kadang-kadang itu sekolahnya malah diabaikan. Kalau misalnya ada tamu jam 9 pagi itu kan jam belajar, nah mereka akan melayani tamu-tamu yang datang jam 9. Apakah dalam unit usaha, kemudian kalau malam hari itu unit entertainnya, ada teater dan sebagainya. Dan itu melibatkan banyak anak dan besoknya itu bisa tidak sekolah karena mengantuk. Itu berarti mengabaikan pendidikan itu. Jadi yang diutamakan itu bekerja, lebih dari tujuh jam," jelas Arist.