Kelompok transpuan di Semarang, Jawa Tengah, juga merasa dianaktirikan pemerintah.
Ketua Persatuan Waria Semarang (Perwaris), Silvy Mutiari, bercerita, dari 110 anggota yang terdaftar di organisasinya baru 11 transpuan lansia yang telah tuntas divaksinasi.
Sementara jumlah transpuan lansia di situ ada 27 orang. Adapun sisanya, transpuan usia produktif, satu pun belum ada yang divaksin.
Kendalanya serupa, banyak yang tak punya KTP dan tak ada informasi lebih lanjut dari pemda kapan divaksinasi.
Baca juga: Mengenal Hendrika Mayora, Transpuan Pertama yang Jadi Pejabat Publik di Indonesia
"Makanya saya lagi cari orang Pemda Semarang yang bisa membantu untuk vaksin teman-teman waria," imbuh Silvy sedikit mengeluh.
"Kalau begini, kita merasa terabaikan. Dulu sebelum Covid-19 program HIV/AIDS lancar di komunitas waria. Kok untuk vaksin tidak begitu?
"Soalnya kalau kita sendiri ke tempat vaksinasi mandiri, kadang banyak orang masih menstigma. Itu kan membuat antusiasme teman-teman waria jadi hilang."
Transpuan berusia 40 tahun yang berprofesi sebagai perias pengantin ini sangat berharap pemda memperhatikan mereka. Sebab selama pandemi, mereka masih bekerja dan beberapa khawatir tertular virus corona.
"Yang waria usia produktif kan mobilitasnya tinggi, sering ketemu laki-laki karena open BO [prostitusi]. Itu kan lebih rentan tertular. Kalau lansia kebanyakan sudah di rumah."
Baca juga: Penjelasan Dukcapil soal Alur dan Jenis Kelamin KTP-el Transgender
Apalagi jumlah mereka di Indonesia cukup banyak, yakni sekitar dua sampai tiga juta orang.
"Katakanlah dari 3 juta, 20% masuk kategori lansia dan komorbid. Itu kan artinya cukup berkontribusi dalam program vaksinasi. Tidak boleh terabaikan oleh pemerintah," ungkap Dicky Budiman saat dihubungi BBC News Indonesia.
Baca juga: Layani Pembuatan KTP-el Transgender, Dukcapil: Namanya Harus Asli
"Data epidemiolog juga menunjukkan usia 50 tahun ke atas ini sangat dianjurkan vaksinasi karena kondisinya riskan, berkontribusi pada kesakitan dan kematian."
Pemerintah Indonesia, menurut Dicky, harus mempermudah syarat administrasi bagi kelompok marginal. Caranya, mengganti syarat KTP dengan data identitas berisi nama, tempat tinggal, dan usia.
Ia juga mengusulkan agar pemerintah menggaet "kader khusus" yang berbeda dengan petugas puskesmas.