KOMPAS.com - Meski terlahir dalam kondisi normal, Siprianus Dua Dawa (49) harus menjalani hidup sebagai seorang difabel sejak berusia lima tahun.
Warga Kampung Wodong, Desa Goreng Meni Utara, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur itu sempat sakit sebelum mengalami kelumpuhan.
Dia sejak kecil harus berjalan dengan cara merangkak dan dibantu dengan kedua tangannya.
Namun, Siprianus tak menyerah pada kondisi dan bekerja keras demi menghidupi istri dan tiga anaknya kini.
Pembaca Kompas.com dapat berpartisipasi dalam meringankan beban Sirprianus, difabel yang menjadi tukang demi hidupi anak istri dengan cara berdonasi, klik di sini
Tak lulus pendidikan di Sekolah Dasar, Siprianus akhirnya mengikuti kejar paket A.
Meski demikian, Siprianus terus menekuni bidang pertukangan dalam pembangunan rumah papan maupun rumah tembok.
Bahkan dia sudah menjadi kepala tukang bangunan sejak 1990.
Kemampuannya menjadi tukang bangunan berawal dari sering mengamati dan bertanya kepada orang yang sedang membuat lemari, tempat tidur, kursi hingga meja untuk televisi.
Kemampuan itu terus dia kembangkan hingga bisa membangunkan rumah untuk adik dan kakaknya, serta warga lainnya.
Biaya untuk pembangunan rumah berkisar Rp 3-4 juta.
"Saya sebagai mandor atau kepala tukang untuk bangun rumah tembok dan papan. Ada beberapa saudara saya atau warga kampung yang ikut saya bekerja sambil belajar membangun rumah. Saya berbagi ilmu otodidak cara membangun rumah. Dan hasilnya ada yang sudah menjadi tukang bangunan di kampung. Saya tidak sekolah. Hanya dapat ijazah paket A dalam waktu tiga bulan tahun 1995. Saya bisa membaca dan menulis," kata Siprianus.
Meski geraknya terbatas, Siprianus bisa naik ke atap rumah untuk memasang balok rumah dan melakukan pekerjaan lainnya.
Pembaca Kompas.com dapat berpartisipasi dalam meringankan beban Sirprianus, difabel yang menjadi tukang demi hidupi anak istri dengan cara berdonasi, klik di sini