Di dekat Simeulue, pulau Provinsi Aceh di lepas pantai Sumatera, pola pertumbuhan terumbu karang di sana menandakan pergerakan naik-turun di sepanjang patahan yang terkait gempa 1861, dan ini membuka tinjauan langka ke masa lalu.
Terumbu karang tidak dapat tumbuh bila terpapar udara. Sehingga saat permukaan laut setempat berubah akibat pergerakan tektonik, perubahan itu dapat terlihat dalam pertumbuhan kerangka karang, ungkap Rishav Mallick, mahasiswa program doktoral di Universitas Teknologi Nanyang di Singapura sekaligus salah satu peneliti studi baru tersebut.
Penelitian tersebut dipublikasikan Mei 2021 di jurnal Nature Geoscience.
Terumbu karang di laut Simeulue itu hampir setiap tahun mengalami pergerakan vertikal pada patahan selama tahun 1738 hingga 1861.
Terumbu karang itu mengungkapkan bahwa Simeulue pernah terendam atau tenggelam selama 90 tahun dengan tingkat penurunan satu atau dua milimeter setiap tahun, yang konsisten dengan gerakan latar belakang patahan.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Gempa dan Tsunami Jawa Timur, 222 Orang Tewas
Namun sekitar tahun 1829, tiba-tiba permukaannya turun lima hingga tujuh kali lebih cepat - bahkan sampai satu sentimenter selama beberapa tahun, ungkap Mallick. Ini menandakan bahwa patahan itu telah mulai mengalami proses gempa slow-slip.
"Itu adalah perubahan yang sangat tajam," ujarnya. Penurunan yang begitu cepat itu terus berlangsung hingga gempa besar 1861.
Studi itu menyoroti kompleksitas zona-zona subduksi, ungkap Furlong.
Baca juga: Potensi Tsunami Jawa Timur 29 Meter, Ini Cara Mitigasi Bencana Tsunami
Untuk sekian lama, dia mencatat, "asumsinya adalah bahwa, di antara gempa-gempa besar, sistemnya sederhana": dua bagian kerak saling mengunci di patahan, membangun ketegangan sampai retak dan terlepas dengan guncangan.
Gempa-gempa slow slip memperumit gambaran itu, karena bisa saja menjadi pemicu bagi getaran yang lebih besar dan dapat dideteksi dengan menghilangkan tekanan pada satu bagian patahan tetapi menambah ketegangan pada bagian yang berdekatan, kata Mallick.
"Ini seperti serangkaian pegas," jelasnya. "Jadi, jika satu melepaskan, yang lain harus menanggung bebannya."
Baca juga: Gempa M 5,1 Guncang Melonguane Sulut, Tak Berpotensi Tsunami
Namun, slow slip itu tidak dapat membantu untuk memprediksi gempa yang lebih besar karena durasi prosesnya sangat variatif.
Tidak ada patahan-patahan yang dimonitor oleh GPS selama 32 tahun berturut-turut, sehingga pemantauan modern mungkin tidak menangkap kejadian yang berlangsung lama seperti slow slip di Indonesia di abad ke-19.
Baca juga: Bisakah Kita Berselancar di Atas Tsunami?
Lagipula tidak semua patahan dapat dipantau dengan baik. Hal ini terutama berlaku pada patahan subduksi di bawah laut, yang memerlukan pemantauan dasar laut khusus ketimbang hanya dengan GPS.
Jika gerakan slow-slip terlewatkan, peneliti mungkin salah mengkalkulasi regangan pada suatu patahan — dan seberapa kuat gempa yang berpotensi dihasilkan oleh patahan tersebut.
"Begitu kita bisa lebih baik dalam memantau wilayah yang terkunci, kita bisa lebih baik juga dalam menentukan besarnya gempa yang bisa terjadi," kata Furlong.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.