BORONG, KOMPAS.com- Keterbatasan fisik tak akan menyurutkan langkah Siprianus Dua Dawa (49) bekerja demi menghidupi anak dan istrinya.
Penyandang disabilitas di Kampung Wodong, Desa Goreng Meni Utara, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur itu justru membuktikan, dirinya bisa menjadi kepala tukang bangunan sejak 1990.
Pembaca Kompas.com dapat berpartisipasi dalam meringankan beban Siprianus, difabel yang menjadi tukang dengan cara berdonasi, klik di sini
Siprianus Dua Dawa merupakan anak kelima, enam bersaudara dari pasangan Darius Mbajak (almarhum) dan Elisabeth Nera.
Meski memiliki keterbatasan fisik, Siprianus sudah bisa membangun rumah papan dengan ukuran 6×7 meter di kampung Macing saat usianya beranjak 18 tahun.
Hingga usianya yang hampir masuk kepala lima, Siprianus telah membuat 30 rumah.
"Saya memiliki bakat alamiah. Awalnya saya melihat saja orang bekerja membangun rumah papan. Saya melihat orang di kampung buat lemari, kursi, tempat tidur, meja. Hingga usia 49 tahun ini, saya sudah membangun 30 rumah, baik rumah tembok dan rumah papan di Kampung Wodong maupun kampung tetangga," ceritanya kepada Kompas.com di Kampung Wodong.
Baca juga: Dua Hari Sebelum Gugur, Briptu Mario Sempat Telepon Keluarga: Tenang Saja, Saya Aman
Siprianus Dua Dawa menceritakan, kemampuan itu datang bermula dari pengamatannya.
Dia selalu memperhatikan serta kerap bertanya mengenai cara membuat lemari, tempat tidur, kursi hingga meja untuk televisi.
Tahun 2002, lanjut Siprianus, dia membangun rumah adik dan kakaknya di kampung itu serta di Kampung Cenop, Benteng Jawa, Lompong dan beberapa kampung lainnya. Biasanya biaya untuk pembangunan rumah berkisar Rp 3-4 juta.
"Saya sebagai mandor atau kepala tukang untuk bangun rumah tembok dan papan. Ada beberapa saudara saya atau warga kampung yang ikut saya bekerja sambil belajar membangun rumah. Saya berbagi ilmu otodidak cara membangun rumah. Dan hasilnya ada yang sudah menjadi tukang bangunan di kampung. Saya tidak sekolah. Hanya dapat ijazah paket A dalam waktu tiga bulan tahun 1995. Saya bisa membaca dan menulis," ceritanya.
Siprianus mengungkapkan saat masih muda, ia tinggal di rumah saudaranya di Kampung Pagal, Kabupaten Manggarai selama 3 tahun.
Dia kemudian mengembangkan bakatnya dan kembali ke kampung untuk membangun rumah warga.
"Saya bisa naik atap rumah untuk pasang balok atap rumah, paku seng, gergaji balok. Tentu dibantu oleh anggota tukang dan anak saya yang tidak sekolah. Dalam keadaan saya seperti ini berjuang, bekerja untuk menghidupi istri dan anak-anak tiga orang," kata dia.