KOMPAS.com - Kurangnya pengakuan, dukungan, dan perhatian dari pemerintah, membuat bahasa asli di wilayah Asia sulit berkembang. Sehingga kondisinya saat ini mengkhawatirkan, terancam punah.
Hal itu terpapar dalam diskusi “Safeguarding and revitalizing indigenous languages in Asia for sustainable development” yang gelar oleh UNESCO, beberapa waktu lalu.
Diskusi tersebut merupakan konsultasi regional wilayah Asia sebagai persiapan aksi global International Decade of Indigenous Languages (IDIL) 2022–2032 yang dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam diskusi tersebut hadir empat pembicara dari Indonesia, Jepang, Nepal dan Thailand.
Baca juga: Menyusuri Jejak Para Penulis Fiksimini Bahasa Sunda
Beatrice Kaldun, Perwakilan UNESCO di Bangladesh dalam diskusi mengungkapkan, peran bahasa bukan hanya alat komunikasi dan pendidikan, tetapi juga penyimpanan identitas, budaya, sejarah, tradisi, dan ingatan masyarakat.
“Saat ini terdapat 370 juta penduduk dunia yang menggunakan bahasa daerah dan tersebar di 90 negara. Bahasa dan budaya tersebut menghimpun kekayaan dan keragaman peradaban manusia," katanya, seperti dikutip dari rilis, Selasa (18/5/2021).
Pembicara dari Jepang Masahiro Yamada dari Institut Nasional Bahasa dan Linguistik Jepang berpendapat bahwa kepemilikan menjadi bagian penting untuk melindungi bahasa daerah.
Menurut Kebijakan politis dan usaha-usaha lain memang perlu dilakukan, tetapi mereka yang menguasai bahasa tersebut juga mesti punya tanggung jawab dan rasa memiliki.
“Manusia hanya melakukan sesuatu yang mereka inginkan. Karena itu, dalam hal konservasi bahasa, kita harus memulainya dengan apa yang mereka sukai. Dan itu sangat tergantung pada latar belakang budayanya,” kata Yamada, yang bekerja sebagai pelestari bahasa minoritas di Jepang.
Baca juga: Bahasa Daerah di Pakistan Ini Tinggal Memiliki Tiga Orang Penutur
Pembicara dari Indonesia, Yudho Giri Sucahyo dari Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (pandi), menyoroti peranan teknologi digital dalam revitalisasi dan pengembangan bahasa daerah.
Ia melihat adanya kekosongan kerja sama dari pegiat IT dan pegiat bahasa daerah. “Mereka yang harus menguasai bahasa daerah belum memiliki keterampilan yang mumpuni untuk menguasai teknologi. Sementara belum banyak aktivis IT yang memperhatikan perkembangan bahasa daerah di platform digital.
Yudho menilai kebijakan pemerintah memiliki peranan dalam merangkul penggunaan bahasa daerah. “Jadi kita perlu mendekati pemerintah daerah agar bahasa daerah memiliki status hukum bahasa tersebut,” katanya.