KOMPAS.com - Yusriadi (45), pria asal Lombok Tengah, NTB, menggugat ibu kandungnya Senah (70) terkait harta warisan.
Hal itu dilakukan karena Yusriadi merasa tidak diajak bermusyawarah saat keluarganya akan menjual kebun milik almarhum ayahnya seluas 13 are (1.300 meter persegi).
Baca juga: Ini Alasan Anak Gugat Ibu Kandung Berusia 70 Tahun di Lombok Tengah
Yusriadi menuturkan, ibunya hanya mendengarkan dari anak perempuannya saja, yang menurutnya kurang sepaham dengan saudara lainnya.
"Ibu ini tidak pernah mempertimbangkan pendapat dari saya untuk menjual tanah kebun ini," kata Yusriadi saat ditemui usai keluar dari ruangan mediasi Pengadilan Negeri (PN) Praya, Lombok Tengah, Senin (17/5/2021).
Meski telah mencoba dimediasi, Yusriadi tetap kekeh ingin menggugat ibunya.
"Saya tetap mau hak saya. Dari yang 13 are, saya mau 2 are saja, karena ini kan hak secara Islam," kata Yusriadi.
Yusriadi membenarkan lahan kebun seluas 13 are tersebut sudah dijual dan dihargai Rp 260 juta.
Untuk itu dia meminta dari hasil penjualan untuk menebus sawah yang telah digadaikan.
"Walau sudah menebus sawah, sama untuk daftar haji, pasti ada sisanya. Nah, sisanya ini kita bagi seperti hukum Islam," kata Yusriadi.
Adapun Senah menuturkan, lahan sawah 13 are peninggalan suaminya sudah dibagikan kepada ahli waris, termasuk Yusriadi.
Almarhum suami Senah menitipkan pesan untuk tidak menjual sawah tersebut karena akan digunakan untuk biaya mendaftar haji.
"Dulu wasiat bapak, kebun tidak untuk dijual, karena itu niatnya untuk biaya hidup dan untuk mendaftar haji," kata Senah.
Dirinya menyesalkan perbuatan Yusriadi yang menggugat ke pengadilan.
Padahal Yusriadi sudah mendapat hak waris sawah dan sudah mempunyai rumah yang layak.
"Kok bisa berhati seperti ini, dia sudah dapat bagian sawah. Ini kebun niat untuk naik haji berdua," kata Senah.
Pengacara Senah, Apriadi menambahkan, hasil penjualan lahan kebun tersebut digunakan untuk menutupi utang almarhum suami Senah.
Uang itu juga digunakan untuk menebus sawah yang telah digadaikan, yang saat ini sawah tersebut sudah dibagi kepada ahli waris.
"Penjualan tanah itu juga untuk mengganti utang orangtuanya. Karena dalam hukum Islam adalah membiayai dan menanggung segala utang dan biaya orang meninggal. Hasil penjualan kebun juga digunakan untuk menebus sawah yang telah tergadai," kata Apriadi.
Apriadi berharap dengan adanya mediasi di PN Praya, kedua belah pihak dapat saling memahami dan mengerti.
"Ini persoalan antara anak kandung dan ibu kandung semoga hari ini bisa mendapatkan titik temu. Bisa berdamai dan mengikhlaskan bahwa penjualan tanah itu adalah untuk penggugat dan untuk mengganti utang orangtuanya," kata Apriadi.
Hakim mediator Pipit Christaa mengatakan, saat mediasi, dia menyarankan kedua belah pihak untuk saling berpikir jernih, mengesampingkan yang menjadi perkara.
"Tadi pertemuan yang kedua tadi saya lebih menitikberatkan pada hubungan silaturahmi antara orangtua, dan itu jauh lebih penting. Saya bilang, kita kesampingkan terlebih dahulu apa yang menjadi pokok dalam perkara ini," kata Pipit saat ditemui di ruang mediasi.
Pipit menilai, sebenarnya kedua belah pihak ingin berdamai. Namun, ada beberapa hal yang menjadi hambatan karena ada pihak ketiga yang diduga ingin merecoki.
"Dari tergugat dan penggugat ini sebenarnya mau sekali berdamai. Tapi karena ada orang-orang di belakang ini yang disinyalir merecoki," kata Pipit.
Pipit akan tetap melakukan upaya mediasi walaupun proses hukumnya tetap berlanjut. (Penulis Kontributor Lombok Tengah, Idham Khalid | Editor Dony Aprian)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.